Mohon tunggu...
D. Febrian
D. Febrian Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dictum Sapienti Sat Est

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebijaksanaan di Bawah Kaki Kebijakan

25 November 2013   16:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebijaksanaan di Bawah Kaki Kebijakan
Berbulan yang lalu hingga beberapa hari belakangan, jika pada malam hari para pengguna jalan melewati Jl. Soekarno Hatta Kota Pekanbaru, Riau di seberang Rumah Sakit Eka Hospital, maka akan terlihat jejeran lapak-lapak penjual sepatu. Para pedagang ini adalah spesialis malam hari, karena jika mereka berjualan pada siang hari, teriknya matahari Kota Pekanbaru tidak akan tertahankan. Bagi saya yang sering memakai ruas jalan ini pada malam hari, akan merasa sedikit terbantu oleh cahaya lampu yang mereka gunakan untuk menerangi dagangan mereka. Karena jika saya mengandalkan lampu jalan di Kota kita tercinta ini, maka kekecewaanlah yang akan saya dapatkan.
Dan kita, yang warga kota ini juga tentu tak pernah akan lupa betapa semaraknya Jl. HR. Subrantas di malam hari karena karena pedagang kaki lima yang berkumpul seperti laron yang mengerubuti cahaya menggelar dagangan. Untuk warga kota yang sekedar melihat-lihat atau ingin berbelanja. Sepatu, pakaian model terbaru dengan harga sangat terjangkau dengan kualitas yang layak dipertanyakan. Dompet, asesoris remaja dan orangtua, ikat pinggang hingga ikat pergelangan tangan, bahkan jika ingin mencari jarum jahit kita akan temukan di sana. Bazar yang sangat komplit dan murah.
Dan akibatnya jalanan menjadi macet dan susah untuk dilewati karena mobil-mobil yang parkir di badan jalan dan pengguna jalan yang memang tidak tertib. Ya, mereka pedagang spesialis malam hari, mungkin juga dengan alasan yang sama, jika mereka menggelar dagangan di siang hari, sinar matahari yang menyengat akan membakar kulit dan menguras keringat.
Namun mereka kini tidak terlihat lagi. Mereka sudah “ditertibkan.” Tetapi saya juga yakin, dalam selang beberapa jam atau beberapa hari setelah penertiban, mereka akan membuka lagi lapak-lapak mereka dan kembali kita akan melihat pemandangan seperti laron menghampiri cahaya. Mengapa? Karena hanya itulah yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak mencuri, mereka tidak merampok uang negara seperti beberapa pejabat dan anggota parlemen, mereka hanya mencari makan, bukan untuk mobil mewah dan rumah bertingkat, tetapi bertahan hidup.
Maksudnya dalam bahasa pemerintah kota, ditertibkan itu artinya mereka dilarang dengan tegas untuk tidak berjualan lagi ditempat itu dengan ancaman pentungan dan sepatu berujung keras seperti sepatu tentara, milik Satuan Polisi Pamong Praja kita yang terhormat. Para pamong praja ini hanya menjalankan tugas dari atasannya, untuk membersihkan kota dari pedagang liar yang mengganggu ketenangan kota. Kota yang dicita-citakan sebagai kota yang bersih, tertib, tenteram dan aman. Dalam pikiran saya yang dangkal, bukankah ditertibkan itu artinya, diatur dengan rapi, yang salah dibenarkan, yang kotor dibersihkan dan ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah dan mempesona. Itulah setahu saya penertiban, bukan menghalau dan melenyapkan. Ah, itu mungkin cuma akal-akalan saya belaka, untuk mencoba melihat diri saya sendiri sebagai orang yang berpikir.
Namun hampir pada saat yang bersamaan pada dua bulan belakangan ini, terlihatlah kemajuan yang teramat pesat dari saudagar-saudagar modern yang membuka outlet-outlet yang bersih, bertaburkan cahaya yang terang benderang, dengan papan nama yang melebihi besarnya lapak-lapak pedagang kaki lima. Dan yang lucunya bagi saya, para pemilik “lapak mewah” ini ini mampu membuka puluhan dan mungkin tidak berapa lama lagi akan mencapai ratusan outlet hampir di seluruh pelosok kota. Lucunya lagi, jarak antara satu outlet dengan outlet yang lain dengan nama yang sama bahkan ada yang tidak sampai berjarak satu satu kilometer saja. Tentu, saya tidak ingin berbagi lelucon dalam hal ini. Ini bukan lelucon. Ini adalah invasi besar-besaran, yang sedang menusuk jauh ke dalam pasar retail Kota Pekanbaru.
Apakah pembukaan minimarket dengan nama yang sudah dikenal secara nasional ini akan menjadi problema hukum, tentu saja tidak. Saya tidak berangan-angan akan ada pejabat yang akan ditangkap oleh pengak hukum dalam perkara suap-menyuap. Dalam film “The Godfather” garapan Francis Ford Coppola, ada ungkapan yang sering terdengar, “It’s just bussiness, nothing personal,” mungkin bisa saya ganti dengan “It’s just bussiness nothing ‘bout law.” Melalui pengetahuan saya yang minim, karena saya hanyalah warga negara biasa, maka akal pikiran saya yang dangkal mewajibkan saya untuk berkata, “ini hanyalah masalah bisnis belaka.” Jika saya punya modal yang besar, mengapa tidak. Jika saya seorang konglemerat apa salahnya saya memanfaatkan peluang bisnis secara bijak dan terukur, walaupun akan mematikan banyak pedagang tradisonal. Karena pedagang tradisional hanyalah pedagang tradisional, mereka tidak mempengaruhi peringkat orang terkaya di Indonesia. Pedagang kaki lima dan pemilik warung kecil hanyalah elemen paling tak penting dalam perekonomian dalam pandangan saya sebagai konglomerat, jika saya akan pernah jadi konglomerat. Mereka akan hilang dan timbul seiring dan miskin dan bertambah susahnya hidup mereka. Nah, apa masalahnya dengan nilai saham saya yang ada si pasar saham dan aset yang bisa dikuasai oleh saya, istri saya, anak cucu dan selingkuhan atau perempuan simpanan. Menurut hemat saya, bisnis tanpa monopoli adalah pengecut. Apa yang salah?
Tetapi sebagai warga kota yang berasal dari kalangan biasa, saya merasa tidak nyaman. Apakah keadaan ini benar-benar sudah benar. Saya bukan seorang pedagang kaki lima. Dan bahkan saya jarang belanja di kaki lima. Saya juga tidak terbiasa berbelanja di mini market atau supermarket besar karena tidak sesuai dengan selera saya yang konvensional walaupun saya sangat suka berada i dalam mall-mall yang besar ataupun minimarket yang kecil. Karena saya bisa bersembunyi dari panasnya kota dan dari kabut yang menyakitkan bagi saluran pernafasan. Namun alangkah sedihnya saya, di saat para pedagang kaki lima ini berusaha mencari penghidupan dengan cara yang halal, namun “ditertibkan” dengan alasan keamanan dan kenyamanan warga kota. Sementara pemilik modal besar bisa dengan mudah menginvasi pasar dengan penampilan yang mewah dan berjualan hingga ke pelosok kota. Kalaupun saya berpikir bahwa pasar modern ini menindas pasar tradisonal dengan menggunakan tangan pemerintah kota, tentu saja saya akan terdengar absurd dan naif. Orang-orang akan berkata, saya terlalu konspiratif. Mungkin protes saya saya tidak beralasan.
Dalam pandangan mata tidak ada yang salah. Lapak-lapak modern ini akan menyerap tenaga kerja yang banyak, membayar pajak dengan jujur, outlet mereka tertib dan bersih. Konsumen akan semakin mudah berbelanja, beragam kebutuhan harian tersedia dengan tarif yang tercetak rapi, di satu tempat yang nyaman dan berpendingin ruangan. Kasir yang selalu tersenyum dan dilayani dengan sangat baik oleh pegawai berseragam. Lahan parkir yang luas dan tidak tidak menggagu pengguna jalan raya. Sementara di kaki lima, semrawut, bising dan tidak sedap dipandang mata. Menyebabkan kemacetan, kekacauan dan sampah yang bertebaran. Satu masalah sosial yang menjadi kerikil di dalam sepatu pemerintah kota. Bila pedagang kaki lima ini dilenyapkan, masalah sosial yang timbul tidak akan banyak. Jika ada beberapa orang pedagang kaki lima yang menyerbu gedung DPRD, maka solusinya mudah, mereka tidak perlu ditemui oleh anggota DPRD atau Bapak Walikota yang pasti sibuk, tinggal dihadapkan dengan Satuan Polisi Pamong Praja yang selalu siaga dan setia mengawal jalannya program pemerintahan kota.
Saya tidak mungkin mempertanyakan integritas Walikota kita yang terhormat, yang telah menerbitkan izin puluhan minimarket dalam beberapa bulan saja secara borongan seperti ini. Kalau dalam istilah pasar, izin ini dibeli dan diterbitkan dalam bentuk grosiran. Tentu saja tidak ada yang salah. Pemilik modal mengikuti semua prosedur perizinan dengan jujur, melalui saluran yang tepat dan membayar dengan tarif yang sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah kota dan secara tidak langsung berjanji akan membayar pajak dengan baik dan benar. Dan Pemerintah Kota tentu saja telah bekerja dengan jujur dan mempelajari permintaan izin tersebut dengan cermat dan teliti. Lalu keluarlah izin borongan tersebut. Dalam beberapa tahun ke depan pajak akan diterima dengan teratur, negara diuntungkan dan para pemilik modal senang karena bisnisnya semakin berkembang dengan pesat. Dan semua bahagia.
Pedagang kaki lima berhasil disapu bersih, tangisan mereka tidak terlalu penting untuk didengarkan karena mereka hanya pedagang kaki lima. Mereka tidak pernah membayar pajak, hanya setoran pungli kepada oknum pejabat tertentu yang sudah pasti tidak akan masuk ke dalam kas negara. Semua dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, truk bermuatan pasukan berseragam bak tentara dan membawa senjata seperti Hansip. Didukung oleh Perda yang sangat sakti. Kota akan semakin bersih, tenteram dan nyaman. Orang-orang kaya akan semakin nyaman berkeliling kota dengan mobil mewahnya, tanpa pemandangan tak sedap pedagang kaki lima.
Tidak akan ada lagi jalanan macet di HR. Subrantas. Jalan akan lebih gelap di Soekarno Hatta di seberang Eka Hospital dan pengguna jalan tidak akan ada yang berhenti di ruas jalan tersebut karena tidak ada lagi lapak-lapak yang biasa mereka singgahi. Dan mall perbelanjaan mewah akan semakin banyak. Mini market akan semakin subur. Jadilah kota kita sebagai kota modern dengan anak muda dan orang dewasa yang berbelanja dengan kaki yang tetap bersih sambil memainkan gadget mewah. Kemiskinan akan semakin berkurang, karena orang miskin tidak terlihat lagi. Bukan karena mereka tidak ada , mereka mati perlahan karena lapak mereka sudah ditendang oleh pemerintah kota, mereka akan mencari kota lain yang lebih ramah kepada si kaki lima atau bertahan dengan kemiskinanan yang ada. Pilihan yang mudah dan tidak akan menyusahkan pemerintah kota dan penguasa. Toh, para pedagang kaki lima bukan pembayar pajak. Sempurna dan gemilang.
Kota terlihat lebih indah. Tetapi tetap saja hati saya merasa kurang nyaman. Para wakil rakyat di Gedung DPRD tentu saja orang-orang yang memiliki kewaskitaan yang tinggi, mereka orang yang biasa bergelut dengan polemik dan nyaman dengan ketidaknyamanan sebagian warga. Walikota adalah seorang insinyur yang bergelar master, seorang intelektual yang hebat dan pilihan rakyat. Saya tentu saja tidak berani menentang intelektualitasnya apalagi mengajak Bapak Walikota untuk bertarung karena beliau adalah pemegang sabuk hitam karate Dan IV. Tetapi hati saya tidak nyaman. Atau memang sebagai rakyat kecil saya tidak layak bertanya-tanya. Mungkin saya memang salah.
Pasti Walikota memenuhi janji kampanye sebelum beliau terpilih sebagai Walikota. Yang akan memperhatikan rakyat kecil dan melindungi warganya dan memakmurkan pendapatannya. Jika saya bertanya-tanya, pastilah kontradiksi di atas hanyalah pikiran bodoh saya belaka. Mungkin pedagang kaki lima bukanlah warga dan rakyatnya. Atau barangkali pedagang kaki lima ini adalah warga pembangkang yang harus dilawan dengan kekuatan kekuasaan dan pentungan. Mungkin memang harus begitu. Ketika pedagang kaki lima dengan penuh semangat dilenyapkan dan pasar modern mekar bak bunga sakura di musim semi, mungkin memang begitulah yang seharusnya terjadi. Pemerintah Kota kita tercinta ini, pasti telah mengolah semua informasi dengan baik, memiliki kebijaksanan yang luas dan hati yang mulia.
Mereka yang bertahta di Balaikota dan duduk di gedung parlemen adalah orang-orang terhormat yang dipilih oleh rakyat. Karena tidak mungkin rasanya mereka menginjak-injak kebijaksanaan di bawah kaki kebijakan. Tetapi tetap hati saya tidak nyaman. Atau memang ketidaknyamannan saya tidak penting dibanding Kebijakan pemerintah, karenan saya memang bukan elemen penting dari kursi kekuasaan, karena saya mungkin sama dengan pedagang kaki lima, kaki saya tidak genap dan agak pincang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun