Kalau diri sedang menolak untuk mengetik, jangan-jangan ada yang salah dengan hati!
Tak mungkin sebuah surga harus melalui jalan yang mulus. Enggak pernah ada. Yang meraih kesuksesan, coba kalian lihat, pasti ada masa kepayahan yang dilalui.
Mau kegiatannya sepenuh hati atau tidak, kesulitan tak bisa tersembunyi. Yakinlah, pasti ada. Namun, kalau memang sudah renjananya, tantangan yang ada bukan menjadi hal yang membuatnya menderita.
Tapi, kalau udah jadi problema hati. Apalagi, hati tak bisa bohong, kan? Selalu ia minta "Udahlah, berhenti saja, mau diterusin sama saja keadaannya kayak dulu!" Pergulatan hati itu memang membuatnya berada di persimpangan jalan, mau lanjut apa enggak.
Ibarat di atas kalian ada dua "sosok" yang menyuruh ini-itu; setan si penjahat dan malaikat sang motivator kebaikan. Atau, di pikiran kalian ada "suara" si idealis dan si realistis. Duuh, sama saja bikin bingung.
Jikalau kalian condong kepada suara si idealis atau memilih menurut apa kata malaikat, mungkin gairah menulis bisa terselamatkan. Namun, kalau hal sebalilknya terjadi, bagaimana?
Terus terang saja, suara hati itu memang tidak tetap. Kadang semangat, kadang tidak. Habis, ia kan cenderung berbolak-balik tergantung waktunya. Kalau saat ini memang tak semangat menulis, mau dipaksa apa pun, ya nggak bakal mau. Susaaaaah!
Hmmm, kalau dipikir-pikir, itu memang ada benarnya sih. Terlalu semangat menulis terus-terusan memang bikin hati letih. Ingin banget berhenti sejenak. Itu lumrah kan bagi setiap manusia?
Kalian tentu ingat kan, pelaku seni yang memutuskan vakum setelah sekian lama berkarya? Itu sama, semua orang tentu ada rasa jenuh kok.
Tapi, masa vakum bukan buat main-main. Bukankah itu adalah kesempatan untuk memulihkan jiwa dan semangatnya, biar bisa kembali berkarya lagi?