Yang jelas, beruntung banget yang bisa berbahasa ibu selain Bahasa Indonesia. Jangan malu berbicara dengannya, karena sesungguhnya negeri ini begitu kaya. Jikalau kalian mau melestarikan bahasa daerah yang jumlahnya tujuh ratusan itu, akan tetap ada.
Contoh kecilnya, pas lagi pandemi korona kayak sekarang ini, nih. Pendekatan dengan bahasa daerah membuat penutur dan target yang berbahasa sama, merasa saling "terangkul" tanpa batas dan sekat.
Lalu, apalagi? Tentu saja merasa mudah dipahami karena ada ungkapan yang maksudnya, hanya bahasa itu yang bisa menjawabnya, yakan?
Jangankan bahasa daerah, bahasa asing juga begitu. Memahami Kitab Suci dengan bahasa aslinya yang jelas-jelas asing, rasanya lebih "nikmat" ketimbang memahami maknanya lewat terjemahan.
Belum lagi orang Jepang, Korea atau Tiongkok yang merasa terhubung jika berbicara dan memahami dengan bahasa setempat. Kalau bahasa Inggris? Ya, gimana ya, terasa kurang!
Oh, pantas saja di event-event olahraga internasional, mereka biasanya didampingi penerjemah, biar bisa saling dimengerti.
Bukankah keberhasilan menanamkan hal-hal baru pada masyarakat, karena pendekatan budaya? Buktinya, agama Islam bisa eksis dan diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia, karena metode itu tadi, terus ditaburkan rasa perdamaian tanpa embel-embel perang.
Dan bahasa adalah bagian dan cerminan dari budaya. Dengan itu pula, secara tak langsung akan mengetahui budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga, ketika menyampaikan sesuatu dengan pendekatan itu, bisa langsung terhubung!
Tapi, kalau orangnya tak bisa bahasa daerah juga? Menyebut dengan sapaan pembuka, itu udah cukup!
Saya sendiri pernah menonton acara Uang Kaget, di mana Mr. Money menyapa dengan "Tabik Pun" kala menginjak tanah Lampung. Apa harus seperti itu?
Menurutku, kalau melakukan hal itu, sama saja menghormati tuan rumah, terlebih lagi pada etnis asli penghuni daerah itu. Namanya aja tamu, kalau mengucapkan sambutan dengan bahasa yang dipakai penduduknya, jadi merasa dihargai.
Jadi, kalau tahu hal itu, apa salahnya berbicara dan menyambut pakai bahasa daerah?
Kata orang-orang, bahasa daerah itu nyawa Nusantara. Bagiku, separuh jiwa Indonesia. Kalau penutur bahasa daerah telah tiada, negeri ini akan kehilangan sesuatu tanda yang bisa dikenalkan pada dunia!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana! Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â