Walaupun begitu, tetap saja bermasker berjam-jam itu gerah, terasa ada udara hasil hembusan yang terperangkap tanpa sirkulasi yang memadai. Mengap-mengap, kata orang bilang. Itu, gak enaknya.
Jangankan masker kain selapis, yang tiga lapis seperti yang dianjurkan WHO itu memang membuatnya tidak ringan lagi. Itu yang pernah kualami, pakai masker dilapisi tisu, malah jadi bernapas dengan tidak bebas!
Oh ya, kegerahan ini tak hanya dialami oleh diriku saja, orang yang kutemui di angkot termasuk seorang ibu paruh baya juga mengeluhkan hal yang sama.
Makanya, sesekali cari napas dengan membukanya untuk sementara. Habisnya, hidung merindukan udara segar dan jengah dengan udara-udara lama yang dihembuskannya, yang tak kunjung terusir keluar gegara terperangkap oleh masker tadi!
Nah, waktu membukanya sebentar setelah berpuluh menit mengenakan masker di supermarket kota, tiba-tiba saya ditegur oleh seorang ibu yang sedang duduk.
"Pakai maskernya"
"Kalau sampeyan (kamu) yang sakit bagaimana?"
Maaf, kataku dalam hati.
Itulah yang membuatku harus merenung dan berpikir begini: "Pakai masker memang berat, tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan sakit yang dirasakan gara-gara Korona!"
Dan sejak saat itu, saya harus membuat diri sendiri lebih kuat lagi. Bertahan, bertahan!Â
Ada atau tidaknya aparat yang mengawasi, bahkan sampai melewati posko Gugus Tugas COVID-19 di kota terdekatku dalam perjalanan pulang, tetap saja harus bermasker! Ibarat kalian minum obat yang pahit rasanya, yang justru akan menyelamatkanmu.