Itu, karena penulis kurang terlatih mengungkapkannya lewat bahasa tulis. Makanya, ingin menyederhanakan materi rumit dan penuh data ke dalam tulisan itu nggak gampang, lho. Kuncinya adalah: Latihan, latihan, latihan! Kalau di dunia kepenulisan, itu bisa diganti dengan menulis, menulis, dan selalu menulis.
Ya, menulis, sambil melatih merangkai kata-katanya; belajar agar bahasa yang disampaikan menjadi luwes, mengalir, dan sederhana. Tapi, hanya bermodalkan latihan, ternyata tidak cukup!
Pasalnya, tak ada jalan lain untuk menulis yang begitu lancar kayak air mengalir, kecuali banyak membaca buku, atau media lain juga bisa deh! Dan hal ini adalah syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Selain biar pengetahuan bertambah luas, dalam, dan beragam, juga bisa menambah koleksi kata-kata di benak kita, yang ternyata amat berguna saat menuliskannya. Tentu saja, biar susunan kalimat dalam tulisan semakin variatif.
Oh ya, ada satu tambahan lagi. Kalau ingin merangkai kata-kata dengan lebih sederhana lagi, libatkan cinta. Cinta akan kata-kata, membuat diri kita merasa bebas.Â
Kemerdekaan akan berbahasa yang begitu indah layaknya berpuisi. Mengubah susunan huruf yang berjumlah dua puluh enam menjadi "sihir" yang mengena, dan diterima untuk semua.
Nah, kalau melakukan semua hal itu, bukan tidak mungkin menyederhanakan tulisan dengan merajut kata-kata yang luwes hanya sebatas angan-angan semata?
Hmmm, Tuhan yang serba bisa, memang sanggup membuat kerumitan dalam tubuh makhluk-Nya menjadi lebih sederhana.
Apalagi kita, sebagai makhluk paling sempurna. Pemikiran memang harus rumit, tapi kita--dan saya--harus berjuang mewujudkan hasilnya dengan rangkaian bahasa yang  sederhana. Bukankah itu lebih baik?
Demikianlah penjelasannya, semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!