Belum! Justru itu, pendalaman pengetahuannya justru dimulai setelah seseorang lulus kuliah strata tiganya, dengan cara banyak membaca dan riset. Dan, bukankah dosen dan profesor dituntut untuk menulis dan menulis, bukan semata mengajar?
Maka, memang wajarlah kalau dosen dan profesor dituntut untuk jadi pembelajar sejati, biar bisa memudahkan menjadi penulis dan menjadi teladan untuk para penulis lainnya. Jangan kalah dengan penulis-penulis biasa! Walaupun hanya lulusan SMA saja, dia bersemangat membaca dan menulis, mengapa mereka tidak bisa?
Makanya, saya salut deh, para profesor dan dosen yang mau menulis. Karena, mereka melakukannya bukan semata kewajiban, tetapi berbagi apa yang dipelajarinya. Mereka, memang tak sekadar membaca, riset, dikaji terus selesai. Lalu, mereka mengaitkannya dengan apa yang dialami dan diteliti di sekitarnya, lalu menerapkannya keilmuan itu, yang kemudian diwujudkannya dalam bentuk buku.
Jadi, setelah saya meneliti buku-buku karya para profesor yang terpajang dalam rak meja kerjaku, memang benar, mereka menuliskan fenomena-fenomena yang dipelajari, yang dipadukan oleh referensi yang mereka baca seperti yang terlampir di daftar pustaka. Mereka, memang mengabdikan dirinya untuk masyarakat lewat buku-buku yang dituliskannya sebagai bukti kepakarannya. Dan, itulah seorang pembelajar sejati.
Kalau dengan para dokter, ya apalagi. Mereka harus tetap jadi pembelajar seumur hidupnya. Karena, ilmu kedokteran sekarang ini berkembang dengan pesatnya, dan kalau tidak cepat-cepat mengejar ketertinggalannya dengan membaca, ya keilmuan mereka tak bisa dipercaya! Dan itu tidaklah terlihat bukti jadi pembelajar itu, kalau mereka tidak menuliskannya.
Dan, para penulis (dari keilmuan) yang lain, tetaplah jadi pembelajar sepanjang hayat, karena itu adalah cara yang bisa mengarahkanmu untuk terus berkarya!
Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!