Mohon tunggu...
Dewi Sri Tunjungsari
Dewi Sri Tunjungsari Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Kompasiana bidang pendidikan, teknologi, dunia kreatif, dan ilmu pengobatan islam. Writer, Columnist, Buzzer, Founder mengintipnusantara and graduatedshop

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pendidikan Tinggi Bukan Satu-Satunya Jalan: Pentingnya Pendidikan Toleransi dan Literasi di Tingkat Kampus

23 April 2022   19:39 Diperbarui: 23 April 2022   19:42 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Inilah pengalaman saya ketika saya berkuliah online di jenjang Magister. Suatu pengalaman yang mungkin bisa diambil banyak orang. Saya berkuliah di kampus almamater saya dan inilah pengalaman saya berkuliah online. Dikampus yang saya pikir orang-orangnya memiliki pemikiran terbuka, toleransi dan gotong royong.Tapi saya tak menyalahkan kampusnya, tapi saya membenci sikap orangnya. Mungkin juga saya adalah salah satu pelakunya dulu tanpa sadar, sehingga saya harus bertemu dengan begini. Dan membuat saya berpikir pentingnya literasi digital dan pendidikan toleransi.

Kronologi: Saat itu amarah saya meledak karena beberapa kali saya tidak mendapatkan informasi atau dibalas pesan singkatnya entah di grup atau japri. Pemikir yang apatis langsung memblokir saya, dan pemikir yang rusuh langsung ikut campur. Satu dan tak ayal, bukan karena tidak ingin menjapri, adalah karena orang yang saya protes itu adalah orang yang membuat saya sungkan. Karena tanpa alasan silahturahmi diputus melalui IG dan jarang sekali membalas Whatsapp di grup ataupun japri. Saya tidak mengetahui salah saya apa. dan saat ditelp dan dimintai kejelasan, dia juga malah menyalahkan kembali. Saya coba sambung silahturahmi lagi, namun justru tidak diterima acceptnya. Begitupula digrup, orang yang tak tahu duduk perkara pun membalas dengan ujaran-ujaran, meme ledekan seperti monkey, bermunculan disana.

Saya membuktikan itu melalui screenshoot dan saya laporkan kepada kantor jurusan saya. Mungkin saat itu langsung ditegur dan orangnya pun semakin apatis dan tidak terbuka. Tak hanya itu , orang orang yang tak mengetahui duduk perkaranya pun memblokir saya tanpa berpikir panjang. Grup waktu itu juga ditutup dan saya pun sengaja dikepung oleh 5 admin (tadinya 3 admin) yang hasil screenshootnya saya bagikan juga ke kepala kantor jurusan. Sesuatu yang membuat saya sadar dan langsung keluar tanpa pikir panjang. Saya tak masuk grup kelas apapun, karena saya sedikit jengah jika tidak dibalas pesan pertanyaannya, dan sedikit jengah memiliki pengalaman itu lagi, diblokir oleh admin, atau kalimat ujaran dan meme ledekan.. Saya memilih masuk grup umum dan memberikan amanah ke1 sampai 3 orang yang tidak begitu terlibat.

Saya tidak mau berkepanjangan konflik ini. namun ternyata tidak sampai disana, Saya tetap bergabung di grup umum dan saya pikir saya akan diberikan informasi. Namun tidak ada yang memberikan informasi. Entah karena kesibukan apapun saya tidak tahu. Namun 3 orang itu pun juga tidak, 5 admin itu pun juga tidak.

Kejadian dikepung oleh 5 admin, seolah seperti didesak untuk keluar, dan kejadian tidak diberikan informasi yang beruntun lagi seperti info seminar proposal, seminar perpustakaan , jurnal dan sosialisasi tesis. Membuat saya bungkam dan benar-benar keluar dari grup apapun, kecuali grup magister campuran. Hingga akhirnya saat itu, saya mengambil kursus ditempat lain untuk mengejar ketertinggalan saya. Mulai dari kursus manajer, karya ilmiah dan lain-lain. Saya juga menjapri teman saya sesama merintis sebagai dosen untuk memberikan informasi mengenai penerbitan jurnal.


Jujur, Saya cukup menyesal kenapa saya mengambil jalan ini, jalan yang akhirnya membuat saya sadar saya telah salah jalan. Saya sebenarnya berniat S2 untuk dipertemukan dengan orang-orang yang pemikirannya terbuka, bisa saya ajak titik temu sebagai pembicara, atau pun cinta sesama untuk ikut projek sosial saya. .

Justru saat itu,tak ada yg bisa saya mintai tolong. Akhirnya saya tahu bagaimana watak orang berpendidikan tinggi. Sibuk, arogan dan berpikiran tidak terbuka.  Jalan yg membuat saya tahu bahwa langkah saya salah. Hati saya pun ikut semakin keras bukan semakin lembut menghadapi situasi dari orang perorang yg tidak mengenakkan. 

Sejak dulu, diorganisasi saya,Saya selalu membuat orang membuat orang mendapatkan beasiswa dan sebagainya bahkan bermimpi untuk membuat beasiswa kuliah. Tapi satu. Kali ini saya menyesal dengan keputusan saya itu. Saat saya mengalami masa sulit itu, tidak ada satupun yg menolong saya dari sekian banyak orang, teman teman saya  yg saya mintai tolong. Acuh tak acuh dan lupa. Bahwa ada orang yg tidak mendapatkan haknya.

Saat itu, saya akhirnya sadar yang dibutuhkan bukanlah pendidikan tinggi. Justru orang yg menolong saya tetap survive adalah lingkungan yang benar benar islami . Saya mengikuti beberapa pengajian dan mereka lah yang justru memeluk saya ketika saya sulit. 

Biasanya saya membuat orang untuk berpendidikan tinggi dan membuat beasiswa, tapi saya sangat menyesal akan keputusan itu. 

Amanah yang harus saya lakukan bukanlah membuat berpendidikan tinggi. Tapi:pendidikan tinggi bukan satu satunya jalan hidup, jika tidak diimbangi dengan lingkungan agama yang baik. Tentu akan membuat orang buta dalam mengejar duniawinya. Saya juga kelak takkan mengajarkan anak saya secara buta mengambil pendidikan tinggi dan mengabaikan agamanya. Semua itu harus seimbang. Jangan kuliah. Kalau membuat hati anda semakin keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun