Mohon tunggu...
Dewi Rahma
Dewi Rahma Mohon Tunggu... Administrasi - Pluviophile

INFP-T

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sore dan Biru

13 Agustus 2020   18:18 Diperbarui: 13 Agustus 2020   18:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore dan secangkir kopi adalah obat yang benar-benar bisa melepas penat. Ditambah duduk berhadapan dengan teman bicara yang asyik, melengkapi rutinitas tiada bosan ini. Seperti hari ini, ketika dia tiba-tiba meminta temu. Entah karena apa. Yang jelas, kini aku sedang terlarut dalam kumpulan diksi dan obrolan tentang apa saja. T

entang politik, sosial, teman, pekerjaannya, bahkan hal kecil seperti bunga artifisial yang tidak sengaja ia temui di jalan tadi hingga pengandaian dalam Multiverse yang masih belum sepenuhnya aku percaya. Jingga segera menghitam, namun kopiku belum mau tandas. Aku terlarut dalam percakapan, hingga lupa bahwa aku harus pergi, menepati janji temu dengan orang lain. Aku terus mengabaikan pesan dari orang itu. Hati dan otak ku fokus pada satu suara, pada satu canda serta tawa dari laki-laki yang ada di hadapan ku kini. Sore ku nyaman bersamanya.

Ternyata bukan tanpa alasan ia meminta temu. Bukan pula perihal rindu. Ia hanya ingin pamit, pergi jauh. Tak ingin ku perlihatkan betapa aku patah hati, tak ingin pula aku terlihat senang dalam kondisi ini. Aku hanya menimpali dengan balasan-balasan lain atau topik-topik ringan yang bukan seputar kepergiannya. Andai hati ku terlihat, dia mungkin sudah bisa melihat kucuran darah menetes tak mau berhenti sejak tadi dia mengutarakan pergi. Ah, aku memang berlebihan. 

Sampai ketika ia mengeluarkan sepucuk undangan bertuliskan namanya dengan calon pendamping hidupnya berukir indah nan manis pada sampul berwana biru langit, dunia ku perlahan runtuh. Tapi maaf, gengsi ku tetap tinggi. Ku terima undangan itu dengan harapan bahwa ini hanya mimpi, dan ku ucapkan kata-kata terdusta yang pernah aku utarakan padanya "Selamat ya, semoga jodoh dan bahagia dunia akhirat". 

Hanya itu yang mampu gengsiku pertahankan selain air mata yang ingin segera terjun bebas. Betapa perih, mencintai seorang diri, terjebak dalam hubungan baik paling tinggi, hanya mampu mengagumi tanpa dicintai kembali.

Maaf, aku memang seperti ini. Perempuan cengeng yang kau kenal sejak masa nol kecil. Tumbuh dewasa dan mencintai sahabatnya sendiri. Akan ku lupakan segala sakit berlandaskan cinta sendiri ini. Doaku selalu yang terbaik untuk kebahagiaanmu. Lalu ku peluk dia dan ku rapalkan lagi doa bahagia setulus hatiku mampu mengucapkannya. Haru turut serta menyelimuti kami, dua insan yang tidak dipersatukan takdir dalam selembar undangan, tetapi dipersatukan takdir dalam masa pendewasaan. Selamat dan terima kasih, Biru, doaku selalu mengiringi langkahmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun