Awal-awal menulis, saya pernah di posisi "semau gue" dengan alasan ingin menjadi diri sendiri. Apakah salah? Nggak juga sih--ada yang pernah bilang begitu. Tidak salah menurut saya tapi di mata editor bisa jadi itu merupakan sebuah kesalahan besar. Tidak jarang naskah diacak-acak, plus komentar yang membuat hati teriris pilu. Sampai terlintas dalam pikiran "apakah tulisanku senista itu?".
Dan memang pada kenyataannya editor ternyata lebih kejam dari ibu tiri. Dan itu adalah proses yang harus dilalui oleh setiap penulis apabila sudah berhubungan dengan editor pererbitan. Jadi menulis itu butuh proses, bukan (hanya) karena ikut kelas kepenulisan ujuk-ujuk langsung tenar "to the max" (bahasa Indonesia nya apa ya ujuk-ujuk?). Penulis sekelas JK Rowling pun pernah ditolak tulisannya oleh penerbit.
Jadi yang ingin saya sampaikan di sini--sebagai penulis--jangan patah semangat dalam berkarya. Walau banyak rintangan dan hambatan, semuanya adalah proses. Jadikanlah kritik sebagai batu loncatan dalam meraih kesuksesan. Bukankah apabila kita ingin memasak ayam bakar harus diberi bumbu-bumbu yang pas, bukan begitu?
Sama seperti apabila kita ingin menulis sebuah fiksi, bahan mentahnya adalah ide. Bagaimana nantinya fiksi itu "kelezatannga" dapat dinikmati pembaca, disitulah peran seorang penulis mengolahnya, sehingga menjadi sajian yang memuaskan selera pembacanya. Dari kegagalan saya pun belajar, bahwa dalam membuat sebuah tulisan harus benar-benar diolah secara matang. Supaya tulisan itu dapat dinikmati pembacanya.
______
Writen by. CoretanEmbun, Januari 2023