Hari Raya Idul Adha sudah berlalu, namun ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil dan menjadi bekal hidup di hari-hari berikutnya.
Pemandangan seputar hewan kurban mulai dari kambing, domba hingga sapi menjadi hal yang sangat biasa mulai dari jelang Hari Raya hingga pelaksanaannya. Dan hari ini (5/10) umat islam merayakan Hari Raya Idul Adha yang diwarnai dengan pemotongan hewan kurban.
Hal ini merupakan salah satu wujud atas ketaqwaan kepada Allah SWT dan juga bukti nyata saling menyayangi terhadap sesama, terlebih bagi saudara-saudara lainnya yang kehidupannya kurang beruntung.
Pagi ini saya berniat menyaksikan pemotongan hewan kurban yang dilakukan di dekat rumah. Rasa ini menjadi hal yang luar biasa karena segenap keadaan lahir dan batin saya tergolong siap untuk melihat penyembelihan yang dilakukan rutin setahun sekali. Tapi belum saja pemotongan dimulai, saat golok mulai diasah untuk mencapai tingkat ketajaman tertentu, dan para bapak sibuk mempersiapkan medan perang, saya sudah mulai merinding tak karuan.
Benar saja saat hewan kurban yang menduduki urutan pertama untuk disembelih mulai ditarik, dipegang kakinya, lalu sang kambing mulai berontak, mengembik dan memohon pertolongan sekuat tenaga... Tapi apa yang terjadi? Tak ada seorangpun yang menolongnya Ya karena ini memang prosesi pemotongan hewan kurban, jadi jelas saja semua yang melihat tak ada yang melakukan aksi heroik penyelamatan.
Kambing ditidurkan diatas lubang dan batang pohon pisang yang telah disiapkan sebagai medan penyembelihan. Kali ini si kambing tidak lagi mengembik, melainkan pasrah dan ikhlas. Nampaknya ia telah siap dengan apapun yang akan terjadi. Hanya embikan panjang penuh sedu sedan yang keluar dari mulutnya mengiringi golok tajam yang mengayun lembut di lehernya.
Iringan takbir terus bergema mulai dari sentuhan golok pertama hingga ayunan golok terakhir diangkat dari leher hewan berkaki empat ini. Embikan lambat laun mulai hilang, tak terdengar lagi. Cucuran darah pasti sudah dimana-mana. Kepala bertanduk yang tadinya perkasa pasti sudah lunglai. Hentakkan kaki yang tadinya meronta penuh kekuatan kini sudah tak berdaya.
Beberapa menit yang hilang, saya baru menyadari bahwa suara embikan benar-benar tak terdengar lagi. Ya saya memang ada di arena perkurbanan ini, tetapi mata kepala maupun mata hati saya jelas tak ada disini. Saya tidak melihat adegan demi adegan hingga nyawa si kambing melayang ke awang-awang. Karena apa? Saya terlalu sayang dengan sesama makhluk Allah SWT, dan oleh karenanya saya tak sampai hati menyaksikan perhelatan yang dilakukan setahun sekali ini
Saya amat merasakan keikhlasan batin yang luar biasa ada dalam diri hewan-hewan kurban itu. Mereka siap berubah status dari hewan ternak menjadi hewan kurban, demi merefleksikan bagi umat manusia atas kesabaran Nabi Ibrahim dan kesalehan Nabi Ismail.
Ketulusan mati dijalan Allah SWT dari hewan-hewan kurban itu telah mengajarkan saya akan indahnya makna ikhlas dan tulus yang sesungguhnya dan tiada tandingannya.
Berjuanglah di jalan Allah SWT, maka hanya gema takbirlah yang akan mengiringi saat kita pergi untuk selama-lamanya.
(dnu, 5 Oktober 2014, 13.45)