Mohon tunggu...
Dewi Nurbaiti (DNU)
Dewi Nurbaiti (DNU) Mohon Tunggu... Dosen - Entrepreneurship Lecturer

an Introvert who speak by write

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Bisa Apa Ketika Pelanggaran di Depan Mata dan Petugas Diam Saja?

24 Oktober 2017   19:51 Diperbarui: 25 Oktober 2017   02:33 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang tadi saya melewati jalan raya Taman Mini menuju ke arah jalan raya Bogor. Dalam perjalanan yang ditemani lagu milik Petra Sihombing yang berjudul "Pilih Saja Aku" itu, saya mendapati dua kali pelanggaran lalu lintas di depan mata namun saya bingung harus berbuat apa.

Pelanggaran pertama, kendaraan roda empat yang melaju di depan saya perlahan memperlambat lajunya sambil menyalakan lampu tanda sebelah kanan, kuning berkedip-kedip, sebagai pertanda kendaraan tersebut akan berbelok ke arah kanan. Saya agak bingung dan berpikir mobil itu mau belok ke mana? Bukankah di jalan ini tidak boleh belok ke kanan dan juga tidak boleh putar balik? Ternyata benar saja, mobil tersebut ingin putar balik di area dilarang berputar. Persis di bawah tiang rambu lalu lintas tanda putar balik yang dicoret, di mana berarti dilarang putar balik, ia membelokkan kendaraannya perlahan ke kanan, lalu sukses melanjutkan perjalanannya ke arah yang sebaliknya.

Melalui kaca kecil di dalam mobil yang terletak di atas kemudi saya melihat di belakang saya juga tengah melaju dengan kecepatan sedang kendaraan roda empat milik badan penegak hukum yang biasanya menindak hal-hal pelanggaran di jalan raya atau biasa disebut dengan pelanggaran lalu lintas. Tapi mobil di depan saya sukses memutar balik, dan mobil di belakang saya terus melaju. Dalam kondisi tersebut saya spontan berucap "Hah? Kok ga ditangkep??". 

Ah, mungkin petugas yang ada di dalam mobil tersebut tidak melihat kejadian tadi, atau bisa saja para petugas sedang menyelesaikan tugas lainnya yang lebih mendesak, darurat dan lebih berat dari sekadar memutar balik kendaraan persis dibawah tiang rambu lalu lintas dilarang putar balik.

Lalu, bagaimana dengan saya? Saya Cuma bisa melanjutkan perjalanan sambil berbingung-bingung ria ditengah kegemasan yang tiada tara.

Pelanggaran ke dua, ketika saya mulai ikhlas atas kejadian yang sebelumnya lagi-lagi saya mendapati hal serupa yang juga membuat gemas. Kali ini pelanggaran melibatkan kendaraan roda dua di area yang tidak jauh dari lokasi kejadian sebelumnya. Saya melihat seorang pengendara sepeda motor perlahan belok kanan, yang lagi-lagi bukan di jalur boleh berbelok ke kanan. Pengendara tersebut dengan sekuat tenaga mengusahakan sepeda motornya naik ke pembatas jalan yang memang tidak terlalu tinggi dan tidak ada pagar. Untuk apa? Tentu saja untuk menyeberang ke jalur yang berlawanan.

Bagiamana kondisi lalu lintas saat itu? Apakah ada petugas? Ada, masih di belakang mobil yang saya kendarai. Lantas apa yang petugas tersebut lakukan? Tetap melajukan kendaraanya. Ah apalah ini... mungkin memang petugas tersebut tidak melihat atau sama alasannya seperti di atas yaitu sedang sibuk.

Entah ini termasuk pelanggaran kecil nan cemen atau sebenarnya besar, tapi dibalik itu semua ada satu hal yang perlu diingat, segala yang besar tentu berangkat dari yang kecil. Langkah yang besar berawal dari langkah yang kecil. Usaha yang besar berawal dari usaha yang kecil. Kesuksesan yang besar berawal dari upaya-upaya yang kecil. Perubahan yang besar berawal dari perubahan yang kecil. Begitu juga dengan suatu kesalahan yang besar, jelas berasal dari kesalahan yang kecil.

Orang-orang seperti itu akan terbiasa melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang dianggapnya bukan suatu kesalahan. Akan sangat banyak kompromi dan kata "tidak apa-apa" dalam melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak benar. Akan banyak pembenaran dengan anggapan "ah begini doang sih ngga apa-apa... biasa aja... yang begini umum kok dilakukan sama banyak orang...". Tapi tetep aja tidak benar! Jangan dibiasakan membenarkan yang salah, lalu menyalahkan yang benar! Jangan membentuk kepribadian dengan doktrinisasi kalimat-kalimat permaafan untuk diri sendiri sehingga sang hati sudah tidak lagi mengenal mana yang sesungguhnya benar, kurang benar dan salah.

Nah yang saya lakukan siang tadi merupakan sebuah pembiaran kecil bukan? Maka suatu saat nanti bukan tidak mungkin saya akan melakukan pembiaran terhadap hal-hal yang lebih besar kan? Bisa saja.

Terkadang mungkin kita tidak mudah mengambil keputusan ya terhadap kejadian-kejadian di sekitar, khususnya terhadap kejadian yang bersifat negatif. Misalnya kita melihat seorang teman menyontek saat ujian, lalu kita yang mengetahui justru cari aman dengan diam saja dan tidak memberitahukannya kepada pengawas. Selain karena takut membuat suasana ruang ujian menjadi gaduh, juga kita takut dimusuhi oleh teman kita tersebut, karena dianggapnya suka mengadu atau tidak sayang teman, alih alih menjunjung tinggi solidaritas. Apakah ini situasi yang sulit? Bagi sebagian orang bisa saja.

Tetapi, pembaca yang baik hatinya apakah tidak gerah jika melihat sesuatu yang tidak benar di depan mata, tapi seakan tidak bisa berbuat apa-apa? Bukankah kita akan turut terkena dosanya jika membiarkan sesuatu yang tidak benar terus saja terjadi? Padahal kita tahu bahwa itu tidak benar, tetapi kita tidak berbuat apa-apa. Sama saja kita mendukung seseorang berbuat negatif karena kita membiarkannya.

Memang tidak menutup kemungkinan di beberapa kasus bisa jadi kita tidak memiliki pilihan lain selain diam jika mengetahui sesuatu yang tidak benar. Misalkan resikonya terkait dengan keselamatan diri, jadi jika kita membocorkan sesuatu maka keselamatan atas diri atau keluarga kita akan terancam, jadi kita lebih baik diam. Namun di beberapa kasus lainnya, yang resikonya bukanlah sebuah keselamatan yang berkaitan dengan hidup dan mati apakah benar jika kita diam saja? 

Padahal seringkali kita dengar ungkapan "lebih baik jujur walaupun itu pahit", namun tetap saja banyak yang lebih memilih diam terhadap suatu kesalahan yang terjadi di sekitar kita. Contohnya seperti saya siang tadi hahaha.... Apakah seharusnya saya turun dari mobil lalu memberi tahu kepada pengendara yang putar balik sembarangan tersebut bahwa yang ia lakukan adalah salah? Hehe... boleh lah kapan-kapan hihi... tadi hanya saya beri klakson panjaaaaaaang sekali sebagai tanda protes haha....

Alangkah baiknya jika dimulai dari diri sendiri untuk memahami hal-hal yang positif dan negatif, sehingga tidak perlu diingatkan oleh orang lain, karena kalau diingatkan juga tidak mudah untuk menerimanya bukan? Ada alasan gengsi, lebih paham, atau bahkan memiliki perspektif yang berbeda terhadap memandang hal-hal baik dan buruk. Bisa jadi ada beda paradigma. Tapi walau bagaimanapun juga kita coba yuk untuk berani berbicara terhadap hal-hal yang menurut kita agak menyimpang. Saya juga masih dan senang untuk terus belajar melakukannya.

(dnu, ditulis sambil makan kue putu yang alat masaknya bunyi tttuuuuuutttttt..... iiihh... kangen ngga siiih sama sayaaaa... eh sama kue jadul iniii.... hahaha....., 24 Oktober 2017, 19.29 WIB)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun