Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hati-hati, Kita Jadi Editor untuk Informasi yang Kita Konsumsi

4 Maret 2021   23:47 Diperbarui: 5 Maret 2021   00:03 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan dunia informasi memang sangat pesat, nyaris di luar dugaan kita. Hal-hal yang merupakan sesuatu yang amat mustahil, kini menjadi keniscayaan karena bantuan teknologi. Sementara itu banyak negara termasuk negara majupun kesulitan untuk menuntaskan ekses dan dampak yang timbul karena kepesatan informasi itu.

Nyaris, semua informasi kini berada di tangan kita. Jika dahulu ada media mainstream yang memoderasi informasi, karena media mainstream bekerja dengan beberapa tahapan dan standar jurnalistik yang ketat. Para wartawan yang bekerja akan menimbang dengan penuh satu berita jika berita itu dianggap akan meresahkan masyarakat. 

Atau para wartawan itu akan bekerja dengan keras tatkala dihadapkan pada fakta yang menjurus ke fitnah, karena mereka harus mendapatkan berita dari dua belah fihak sehingga berimbang dan tidak menjurus ke fitnah. Para wartawan sekaligus bekerja dengan keras termasuk  menentukan mana informasi yang harus diunggulkan dan mana yang harus dibuang.

Namun ketika informasi itu ada di tangan masing-masing orang pada masa sekarang ini, maka moderasi media mainstream itu menjadi minim karena semua orang bisa memoderasi informasi bagi dirinya sendiri. Namun berbeda dengan para wartawan yang paham kaidah jurnalistik dan dampaknya, para pemegang smartphone dan media sosial ini tidak terikat (dan pasti tidak peduli) dengan kaidah jurnalistik yang ketat sebelum menyebarkan informasi. 

Dengan kondisi begitu, satu informasi dengan mudah mereka sebarkan hanya dengan menggerakkan jempol mereka. Mereka menjadi editor bagi diri mereka sendiri. Pemerintah dan media mainstram sejujurnya adalah satu bagian yang tidak sepenuhnya menentukan mana informasi yang layak konsumsi atau tidak karena penentu 'makanan'informasi ada pada mmasing-masing orang.

Pemerintah sebenarnya sudah bekerja sangat keras untuk menanggulangi ini. Kementian Komunikasi dan Informasi dan Dewan Pers juga sering memberi petunjuk bagi masyarakat untuk membedakan mana situs berita dengan informasi kredibel, mana yang tidak. Namun diakui bahwa ini tidak akan sepenuhnya memberi solusi.

Orang awam sering merasa 'jatuh cinta' pada informasi yang terlihat benar namun sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Kita bisa melihat banyak ajaran agama yang dipelintir sehingga orang membuat seseorang percaya pada si pembuat informasi itu. Celakanya kaum  yang sering dijatuh cintai oleh beberapa kalangan masyarakat adalah kaum radikal yang sering 'bersembunyi' di belakang ajaran radikal atau hoax  yang mereka sebarkan melalui media sosial. Lebih sempit lagi mungkin kaum wahabi yang sering memberikan pemahaman agama kaku yang bertentangan dengan kondisi Indonesia yang beragam ini.

Inilah yang mungkin menjadi concern tersendiri bagi ketua PBNU, Said Aqil Siradj yang sampai meminta pemerintah untuk menutup situs-situs radikal dan identik dengan berita hoax(bahkan fitnah) dalam konten-kontennya. Dan informasi dan konten itu sering menyesatkan masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun