Mohon tunggu...
dewi mayaratih
dewi mayaratih Mohon Tunggu... Konsultan - konsultan

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radikalisme dan Upaya Pencegahan Melalui Kearifan Lokal

13 Maret 2018   07:18 Diperbarui: 13 Maret 2018   08:50 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Radikalisme memang menjadi pekerjaan rumah (PR) yang berat bagi negara dan bangsa Indonesia. Radikalisme yang menjurus ke terorisme diindikasikan menjadi penyebab kejadian terorisme yang tidak menyenangkan dan traumatis bagi bangsa Indonesia.

Kita mencatat Bom Bali Pertama dan kedua . Keduanya hanya berselang tiga tahun. Selain itu ada bom JW Marriot, Kedubes Australia dan beberapa bom lainnya di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia. Negara yang sebelumnya aman damai ini menjadi porak poranda karena pemahaman yang salah terhadap agama.

Setelahnya banyak sekali penjelasan-penjelasan banyak pihak atas ajaran agama dan berbagai penafsirannya. Terutama pemahaman soal makna jihad dan sebagainya. Mulai dari alim ulama , ustad masjid sampai ustad artis, sampai pemangku kepentingan. Tujuannya adalah membenahi pemahaman-pemanhan yang salah soal arti jihad, pengertian musuh dalam konteks agama dan konteks waktu. Mungkin penjelasan-penjelasan itu ada benarnya.  

Bentuk-bentuk radikalisme seperti masuk dalam oraganisasi seperti Hisbit Tahrir Indoensia yang mengusung faham berbeda dengan faham Pancasila tentu menjadi catatan tersendiri bagi negara dan lingkungan orang yang setuju pada faham itu. Setuju dengan tindak kekerasan seperti membuat bom dan mengatasnamakan agama tentu menjadi faham yang harus diluruskan.

Karena sebenarnya, dasar negara yaitu Pancasila dan semboyang Bhinneka Tunggal Ika sudah 'selesai' dibicarakan. Kita semua harus sadar bahwa negara kita terdiri atas bermacam budaya , adat, agama dan lain-lain . Sema ini kearifan lokal yang mengarahkan pada toleransi adalah pondasi penting bagi negara. Sehingga  kita harus menghargai orang lain yang berbeda dengan kita. Upaya-upaya pencegahan radikalisme oleh negara harus kita upayakan bersama agar kita semuda dapat mewujudkan cita-cita bersama yaitu kesejahteraan masyarakat.

Akhir-akhir ini muncul polemik soal pemakaian cadar yang dilarang di sebuah Universitas Negeri di Yogyakarta. Meskipun akhirnya larangan memakai cadar itu dicabut, namum memang ini mengundang petanyaan bagi masyarakat umumnya.  Alasan pelarangan pemakaian cadar itu karena pencegahan melawan radikalisme. Menurut cerita, sang pemakai cadar sebelumnya juga ikut mengibarkan bendera Hisbut Tahrir Indonesia.

Mungkin jika kita letakkan persoalan dalam konteksnya, kita tidak bisa melarang seseorang memakai cadar karea itu ada dalam ketentuan agama . Cadar bisa dipakai unuk menunjukkan kehati-hatian dalam menjaga diri , dan hal tersebut dipandang jibiliyah (kebiasaan seseorang atau komunitas). Sehingga seharusnya itu bisa diterima oleh banyak pihak, termasuk negara kita.

Hanya saja jika itu menyangkut pelibatan pada organisasi  seperti HTI , maka itu harus jadi concern bersama. Prinsip HTI banyak yang bertentangan dengan prinsip negara. UU ormas terbaru juga menyebutkan bahwa HTI adalah organisasi terlarang.

Karena itu antara cadar dan radikalisme memang harus dipisahkan pemaknaannya.  Karena itu adalah hak. Kita juga jangan lupa soal penghargaan orang lain yang berbeda dengan kita; toleransi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun