Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Bergulat Kata, Mengungkap Rasa: Sebuah Refleksi Sepenggal Perjalanan Menulis di Kompasiana

22 September 2019   18:22 Diperbarui: 22 September 2019   18:48 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Life is a journey of hopes. Hidup adalah perjalanan dari harapan-harapan.

Saya menuliskan kata-kata itu sebagai salah satu kata mutiara  yang saya pegang sampai saat ini. Hal ini karena saya mengibaratkan hidup yang saya jalani adalah sebuah perjalanan panjang, dimulai saat saya lahir dan usai saat saya menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya, yang waktunya masih merupakan misteri.

Dan didalam perjalanan hidup itu, tentu banyak hal yang bisa terjadi. Mungkin saja ada saat dimana tergelincir, tersandung, jatuh bangun, mengalami pahit getir, bahkan babak belur. Atau mungkin saja ada saat dimana bisa berjalan bebas tanpa hambatan, meluncur kencang seperti di jalan tol atau menikmati sejuknya udara yang sepoi-sepoi menyentuh wajah. Namun toh, semuanya sudah terlewati dengan selamat dan menghantarkan pada satu titik, dimana bisa berhenti sejenak dan merenungkan tentang hidup yang sedang dijalani.

Ada perasaan lega dan bersyukur ketika saya menengok ke masa lalu. Bercampur dengan perasaan cemas dan tak menentu ketika memandang masa depan. Namun saat saya menegadah ke atas, ada harapan-harapan yang hadir jika mau mempercayakan perjalanan hidupnya dalam tuntunan tangan Tuhan.

Life is a journey of hopes. Dan saya sudah membuktikannya. Q.E.D. Quod Erat Demonstrandum.

Berbicara tentang perjalanan hidup, setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dan saat ini, saya ingin berbagi salah satu bagian perjalanan hidup saya, yaitu tentang perjalanan menulis saya.

Awal mula perjalanan menulis saya, dimulai dari TK (Taman Kanak-Kanak). Ketika ibu guru mengajarkan menulis huruf a, i, u, e dan o pada saya. Disambung dengan belajar menulis huruf konsonan lainnya, mulai dari b sampai dengan z.

Sehingga di masa balita, saya mampu menuliskan "ini budi, ini ibu budi, ini bapak budi, wati kakak budi, iwan adik budi, pak harun guru budi". Pelajaran SD (Sekolah Dasar) yang sudah saya terima sejak di TK.

Sepertinya sederhana sekali, bukan ? Tapi inilah yang menjadi cikal bakal saya menapaki perjalanan menulis.

Di masa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas) dan masa kuliah, kisah perjalanan menulis saya masih terus berlanjut. Dinamikanya, pasang surutnya, mewarnai perjalanan hidup saya. Mungkin di lain waktu, saya akan menuliskan ceceran kisahnya yang sebagian masih tersimpan di memori kenangan.

Semenjak meninggalkan masa kuliah dan memasuki babak kehidupan bekerja di tahun 2005, perjalanan menulis saya mengalami masa surut. Tak ada karya yang tercipta. Kecuali laporan-laporan pekerjaan yang tentu saja menjadi perkecualian. Masa adaptasi pekerjaan dan dilanjutkan masa adaptasi dalam pernikahan, disusul hadirnya 2 (dua) buah hati cantik-cantik yang menjadi penyemangat hidup saya, meredam gejolak menulis saya beberapa lama. ( ciyeeee...)

Sampai akhirnya, saya bertemu dengan orang-orang yang kembali menggugah semangat saya untuk berkarya lagi dalam menulis.

Saya sempat bercerita kepada seseorang, bahwa saya ini lebih suka menuliskan ide-ide saya dalam bentuk tulisan ketimbang berbicara secara langsung, karena saya tak pandai bicara.

Dan ketika saya, dengan "tidak pede" (alias tidak percaya diri) menunjukkan beberapa tulisan saya kepadanya, ia mengapresiasi, "Sayang kalau tulisan-tulisan ini berceceran. Kenapa tidak dikumpulkan, atau mungkin dibukukan ?"

Apresiasi yang diberikan ini, sungguh membuat hati saya berbunga-bunga dan memacu adrenalin untuk menuliskan tulisan-tulisan yang saat itu kebanyakan berupa puisi-puisi. Puisi-puisi itu sebagian kecil saya simpan di media sosial Facebook, dan sebagian besar saya tulis di dalam buku. Mimpi saya ingin membukukan puisi-puisi tersebut. Tapi saat ini, paling tidak saya membukukannya dalam buku. Hehehe... (maksa banget sih, kesannya ?!)

Dan suatu ketika, saya bertemu dengan seorang kawan lama, namanya Ari Budiyanti. Ia adik kelas saya semasa kuliah di Surabaya dulu. Meskipun kami berbeda jurusan kuliah, namun kami memiliki satu hobi yang sama, yaitu menulis puisi.

Pertemuan kami bermula lewat media sosial yaitu Facebook, hingga berlanjut beberapa kali kontak via SMS / WA. Entah sudah berapa lama kami tidak bertemu secara langsung, namun kalau sudah membahas puisi, rasanya nyambung aja. Seperti sedang bertatap muka.

Di akhir tahun 2018, tepatnya di awal bulan Desember 2018, Ari Budiyanti mengajak saya untuk bergabung di Kompasiana. Sebuah media menulis yang baru bagi saya.

Awalnya saya tidak tertarik untuk ikut bergabung, karena mendengar namanya saja, bayangan saya tentu tulisan-tulisan di sana "kelas berat" semuanya. Namun, akhirnya Ari berhasil meyakinkan saya, bahwa menulis puisi saja pun juga ada wadahnya di Kompasiana. Dan demikianlah, 3 Desember 2018 saya resmi bergabung di Kompasiana dan mengirimkan puisi perdana saya yang berjudul "Serenade".

Sampai dengan saat ini, di bulan September 2019, genap 10 bulan saya bergabung di Kompasiana. Pasang surut terjadi selama 10 (sepuluh) bulan perjalanan menulis saya di Kompasiana.

Pada awalnya, saya sangat rajin memposting tulisan-tulisan di Kompasiana. Di bulan Desember 2018, tercatat ada 27 karya puisi saya yang mewarnai Kompasiana. Itu berarti, setiap hari saya berhasil mendisiplinkan diri untuk menghadirkan 1 karya puisi saya di Kompasiana.

Di bulan-bulan berikutnya, perjalanan menulis saya mengalami pasang surut. Di bulan Januari 2019, jumlah karya puisi yang hadir di Kompasiana turun menjadi 18 puisi.

Di bulan Februari 2019, turun lagi menjadi 13 puisi. Di bulan Maret 2019, April 2019 dan Mei 2019, turun lagi menjadi 11 karya, 12 karya dan 6 karya. Namun, di bulan Maret 2019, April 2019 dan Mei 2019 ini, saya tidak hanya menuliskan puisi. Ada 2 buah cerpen berseri (cerita pendek yang terbagi dalam beberapa seri). Hehehe... cerpen kok berseri ya ??

Dua cerpen berseri tersebut adalah "Tajuk Memori" (1 cerpen dalam 3 seri) dan "Manusia-Manusia 10 April" (1 cerpen dalam 7 seri, yang masih belum tamat menulisnya, karena masih ada 1 seri yang belum sempat saya tayangkan).

Dengan semakin bertambahnya kesibukan   pekerjaan di bulan-bulan pertengahan hingga akhir tahun (ah... alasan saja, hehehe...), perjalanan menulis saya di Kompasiana semakin surut saja. Tengoklah di 4 bulan berikutnya. Di bulan Juni 2019, hanya ada 2 karya puisi yang tayang di Kompasiana. Namun 1 karya puisi yang berjudul "Deru yang Meragu" ternyata dibaca oleh 425 viewers. Mungkin bukan angka yang fantastis jika dibandingkan dengan penulis-penulis besar lainnya di Kompasiana. Tetapi bagi saya, ini adalah salah satu penyemangat tersendiri, ketika ada 425 orang yang membaca tulisan saya.

Kemudian, di bulan Juli 2019, Agustus 2019 dan September 2019, masing-masing 3 karya hadir di setiap bulannya. Sungguh mengenaskan, 10 hari hanya menghadirkan 1 karya puisi.

Namun demikian, terlepas dari pasang surut perjalanan menulis di Kompasiana selama 10 bulan ini, tercatat ada 99 buah karya yang sudah mewarnai Kompasiana. Beberapa di antaranya ada yang menjadi "Pilihan Editor", dan beberapa di antaranya ada yang sempat nangkring di kategori "Nilai Tertinggi". Memang benar kata Ari Budiyanti, ketika puisi-puisi atau hasil karya tersebut diapresiasi sebagai "Pilihan Editor" dan masuk kategori "Nilai Tertinggi", ada perasaan bahagia yang tak terlukiskan dengan kata-kata, yang membuat  hati berbunga-bunga dan cuaca hari itu menjadi cerah bersahabat. Hahaha... saya juga merasakan seperti itu koq, Ari... !

Dan pada akhirnya, sampai jugalah saya di satu titik perhentian ini. Milestone. Titik karya ke-100 corat-coret tulisan saya yang dimuat di Kompasiana. Seperti halnya perjalanan hidup, kapan akan berakhir masih menjadi misteri. Namun sepanjang hayat dikandung badan, demikianlah semoga saya masih bisa menjaga nyala semangat menulis ini.

Terima kasih kepada teman-teman seperjalanan saya,  orang-orang yang sudah dikirimkan untuk memantikkan api dalam perjalanan menulis ini dan menjaga nyalanya bersama-sama dalam saling memotivasi menulis.  

Terima kasih juga pada Kompasiana, yang mewadahi tulisan-tulisan saya dan memungkinkan saya bertemu dengan para pejuang-pejuang literasi Indonesia.
Mari kita tetap semangat menulis. Change the world with your pen.

# written by Dewi Leyly
# 22.09.2019
# karya tulisan ke-100 di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun