Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maut Adalah Misteri Illahi

27 Maret 2019   07:00 Diperbarui: 27 Maret 2019   07:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perjalanan kehidupan bisa diibaratkan seperti perjalanan menaiki kereta api. Ada perhentian-perhentian di setiap stasiun. Ada penumpang-penumpang di sekitar kita yang silih berganti, naik dan turun di setiap perhentian yang kita lewati. 

Mungkin kebersamaan itu hanya untuk sesaat, mungkin juga kebersamaan itu di sepanjang perjalanan yang kita lalui hingga akhirnya kita juga tiba di stasiun perhentian kita.

Kisah kali ini untuk mengenang Mak'e. Bulik (bibi) dari Bapak mertua. Atau Mbah (nenek), begitu seharusnya aku memanggilnya. Atau Mbahyut (Nenek Buyut), begitu seharusnya anak-anakku memanggilnya. 

Seorang wanita yang menolak tua, berjiwa muda dan tak mau dipanggil dengan sebutan Mbah, Mbahyut, Nenek, Oma dan sebutan-sebutan sepadan itu untuk orang tua. 

Maka, jadilah kami tiga generasi : Bapak mertua, aku dan anak-anakku memanggil beliau dengan sebutan Mak'e. Sebutan khas Jawa untuk memanggil Ibu.

Pertama kali mengenal beliau, tidak banyak hal yang bisa kuingat. Namun ketika perkenalan itu berlanjut dengan kunjungan rutin, setidaknya sekali atau dua kali setiap tahunnya, ada yg selalu kurindukan dalam tiap pertemuan itu. Sesuatu yg sederhana memang, namun sangat "menggigit". Ya... setidaknya buatku.

Sesuatu yang sederhana namun menggigit itu adalah percakapan ringan tentang apa saja yang ditemani nasi tiwul dan lodeh mercon spesial. Ya... lodeh mercon ini spesial bagiku, karena seumur-umur, baru sekali itu aku dihadapkan pada sayur tahu tempe santan, kadang bercampur kentang dan cecek, namun intensitas cabe dan "isi" sayur lodeh yg seharusnya mendominasi justru berbanding terbalik. 

Artinya, kalau isian tahu, tempe, kentang dan cecek itu ada satu genggam, justru cabenya ada dua genggam. Nah... coba Anda bayangkan, bagaimana penampakan sayur lodeh mercon itu. Sungguh menggoda...

Pertama kali mencobanya, aku tak berhenti meneteskan air mata di sepanjang pertemuan kami, tapi itu bukanlah air mata kesedihan...
Dan demikianlah selanjutnya, pertemuan kami tak akan pernah absen dengan kehadiran sayur lodeh mercon hasil karya beliau yg sungguh cetar membahana bagiku. Ulala....

Namun, sejak Natal 2013 yang lalu dan untuk selanjutnya, rutinitas menggairahkan itu telah hilang. Terenggut ketika beliau harus memenuhi panggilanNya untuk masuk dalam kehidupan abadi yang sudah disiapkanNya bagi kita semua. Mau tak mau, siap tak siap, bila sudah tiba waktunya bagi kita, dengan cara bagaimanakah menolaknya ?

Ada rasa kehilangan walaupun belum seberapa lama mengenal beliau. Namun kesederhanaan dan saat-saat kebersamaan  kami saat itu, telah menjadi sekeping puzzle yg melengkapi bagian kehidupanku.

Selamat jalan Mak'e. Suatu kehormatan dan kebahagiaan pernah mengenal panjenengan.

In memoriam
Donomulyo, 23.03.2013

# 26.03.2019
# written by Dewi Leyly

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun