Mohon tunggu...
dewi laily purnamasari
dewi laily purnamasari Mohon Tunggu... Dosen - bismillah ... love the al qur'an, travelling around the world, and photography

iman islam ihsan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Nenekku Mengajar di Tahun 70-an

3 April 2021   20:45 Diperbarui: 3 April 2021   21:27 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kagumku pada Nenek, yang biasa ku panggi Eni. Tahun 70-an aku masih balita. Eni sering mengajakku ke sekolah tempatnya mengajar. SMP di sebuah kota kecil di kaki gunung Ciremai. 

Rumah Eni besar sekali. Kamarnya ada 3 di bagian utama dan 2 di bagian faviliun. Ruang tamu dan ruang keluarga bersambung hingga ruang makan. Taman depan ditanami berbagai jenis pohon. Ada cengkeh, rambutan, kelapa gading, jeruk, dan mangga. Bunga warna-warni seperti bougenville, kenanga, mawar, kembang sepatu, asoka, dan alamanda.

Aku ingat bila diajak ke sekolah selalu naik delman. Bisa saja sih diantar menggunakan motor dibonceng Kakek yang biasa ku panggil Aki. Tapi aku yang ingin naik delman. Eni mengalah, akhirnya kami naik delman. Seru sekali memperhatikan kuda bergerak gesit, sesekali kusir hentakkan tali kekang agar kuda berjalan dijalurnya.

Sekolah tempat Eni mengajar adalah bangunan yang didirikan tahun 1918. Namun dari data yang ada, resmi kegiatan belajar mengajar dilakukan pada tahun 1951 dengan kepala sekolah pertama Bapak Setia Miharja. 

Di bagian depan persis setelah masuk gerbang, terdapat aula besar. Terbuka tanpa dinding. Lantainya tegel berwarna abu-abu sama persis dengan warna tegel diseluruh koridor kelas-kelas. Jendela kaca berbingkai kayu dan pintu kayu yang tinggi menyesuaikan dengan tingginya langit-langit bangunan. Memang tampak ada perpaduan desain kolonial dan tradisional pada bangunan ini.

Bila dikenang, lucu dan sedikit aneh ya ... He3 ... Seorang anak kecil, usia taman kanak-kanak berkeliaran di koridor sekolah SMP. Aku juga kok kalau diingat sekarang kadang berpikir, berani amat ya dulu kok kelayapan sendirian dari kantin, ruang guru, aula, dan berusaha mengintip Eni yang sedang mengajar. 

Di ruang guru, aku diajak ngobrol oleh teman-teman Eni. Diajak memilih hasil karya siswa berupa boneka kain. Ada yang berbentuk ikan, beruang, dan buah-buahan. Seorang ibu guru mempersilakan aku memilih dua boneka untuk dibawa pulang. Waaaaahhhh ... Girang benar bisa punya mainan baru. Aku memilih ikan dan buah jeruk. 

Eni selesai mengajar dan mengajak pulang. Kembali kami naik delman. Sebelum sampai rumah, mampir dulu di toko kue langganan. Banyak sekali kue berjejer rapi di lemari kaca. Eni membeli beberapa macam untuk kudapan sebelum makan siang. Dapur di rumah Eni ada dua. Di ujung belakang ada dapur yang masih menggunakan kayu bakar. Tunggu terbuat dari tumpukan batu bata. Perabot masaknya besar-besar. Ada dandang dengan kukusan berbentuk kerucut dari anyaman bambu. Kuali besi dan spatula kayu. Bangku kecil untuk duduk memasak. Nampan dari bambu digunakan untuk mengolah nasi yang sudah masak, dibolak-balik dan dikipasi agar uapnya hilang. Dapur satu lagi lebih dekat dengan ruang makan. Di sana ada oven dan kompor minyak tanah. Loyang-loyang alumunium untuk alas membakar kue. Toples-toples kaca berbagai ukuran. Eni memang pandai memasak dan membuat kue.

Kostum Eni unik loh! Selalu menggunakan kain batik dan kebaya yang dijahit sendiri dengan rambut disanggul. Eni punya sebuah mesin jahit dan sekotak benang berwarna-warni serta cadangan jarum dan gunting. Aku senang melihat Eni membuat pola, menggunting kain untuk kebaya, dan menjahitnya. Kaki Eni lincah menggenjot pedal dari besi, seperti naik sepeda tapi satu kaki saja he3 ... Tangannya juga asyik bergerak memutar sebuah lingkaran di sisi kanan mesin jahit, seperti stir mobil. Lalu berpindah meluruskan kain agar hasil jahitannya rapi. Wuuuiiiihhh ... Sungguh pemandangan yang menakjubkan untukku.

Kain batik yang diwiru sendiri oleh Eni. Lipatannya tujuh buah. Katanya itu harus ganjil, bisa lima, tujuh atau sembilan. Ada juga sih yang bisa sebelas lipatan, tapi pasti itu pemilih tubuh super langsing. Karena wiru mengurangi panjang kain kan ? Aku pernah melihat Eni mencuci kain batik menggunakan lerak. Tak ada busa saat mencuci, hanya sedikit saja gelembung dibaskom. Mengucek sebentar lalu dijemur di tempat yang sejuk tidak terkena cahaya matahari langsung. Kain batik tulis memang harus diperlakukan sangat halus, kata Eni.

Oya ... Setelah lulus taman kanak-kanak, aku pindah ke Jakarta. Walau begitu setiap libur sekolah, aku selalu dikirim ke kota tempat Eni tinggal. Beberapa kali juga diajak ke sekolah tempat Eni mengajar. Ternyata pengalaman mengikuti Eni mengajar sangat menginspirasiku hingga saat ini senang mengajar. Aku kini menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi.

Kebayangkan tahun 70-an sudah mengajar. Eni pernah cerita kalau sekolah guru dulu itu setingkat SMA. Namanya sekolah kepandaian putri. Masih masa penjajahan Jepang, Eni sudah bersekolah untuk menjadi guru. Luar biasa. Jadi kalau dihitung sejak mulai mengajar sekitar tahun 45-an hingga tahun 70-an, Eni sudah menjadi guru selama 25 tahun.

Tentu banyak sekali murid-murid Eni yang sudah dididik. Aku saja cucunya merasakan hasil didikan Eni. Salah satunya adalah menulis dan berpidaro. Waktu aku kelas 3 SD, ada lomba pidato hari Pendidikan Nasional. Kebetulan Eni sedang berkunjung dan menginap di rumah kami di Jakarta. 

Mengetahui aku akan berlomba pidato, Eni semangat sekali mengajariku menulis teks dan praktek berbicara di podium, di depan khalayak ramai. Bagaimana suara harus keraskan, ada penekanan pada kata-kata tertentu, pandangan mata mengarah kepada pendengar. Tak lupa mengajari menggerakan tangan sesuai kalimat yang disampaikan. 

Kerennya Eni tidak hanya berteori. Tapi langsung memberi contoh. Waaaahhhh ... Ternyata Eni adalah orator ulung. Pantas saja Eni terpilih menjadi anggota DPRD di kotanya mewakili Gabungan Organisasi Wanita. Bangga sekali aku sebagai cucunya.

Hasilnya tidak mengecewakan, aku berhasil meraih juara kedua. Padahal lawanku kelas di atas loh! Aku adalah peserta termuda he3 ... Saat aku pulang membawa hadiah, Eni senang sekali. Memelukku dan menyemangatiku untuk berani tampil dan berbicara di depan umum.

Semoga amal ibadah Eni sebagai guru akan menerangi kuburnya. Kelak menjadikannya jalan menempati surga-Nya terindah. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun