Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Lelaki Masa Silam

6 Juli 2010   00:29 Diperbarui: 12 Agustus 2016   16:52 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Persimpangan, sumber: rochenry-ochen.tumblr.com

Adakah cinta yang abadi, tanyaku padamu. Kau jawab ada, cinta yang sejati. Seperti cintaku padamu. Gombal, hatiku mati-matian menampikmu.

Matahari membakar Jakarta siang itu. Sinar teriknya hendak melucuti kulit dari daging, memanggang para pekerja jalanan yang telanjang dada. Menerbangkan debu jalanan dari tanah aspal nan kerontang. Dan debu itu menempel pada daun-daun akasia, palem, dan flamboyan yang berjejer di samping gedung kantor. Menyulap daun-daun hijau jadi coklat buram, bagai lukisan abstrak musim gugur, kala daun berubah warna. Tapi lukisan itu setengah hati menempel menghiasi gedung-gedung megah di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan.

Dari lantai enam ruang kantor, mataku nanar menatap segala aktivitas di bawah sana. Para pekerja jalanan sedang bongkar pasang kabel-kabel optik yang tertanam di bawah beton-beton jalan. Beton-beton itu terpaksa dihancurkan, untuk kemudian diratakan kembali, lantas diaspal lagi. Begitu terus.

Di perempatan jalan sebelahnya, selang-selang PAM jadi objek aktivitas musiman juga. Menjelang akhir tahun anggaran, pemandangan biasa di sepanjang jalanan Jakarta. Tiba-tiba segala macam kabel dan selang-selang yang tertanam di bawah sana dianggap tak layak lagi, harus segera diganti dan diperbaharui. Akibatnya bahu jalan menyempit, lalu lintas Jakarta yang padat semakin megap-megap. Macet pasti. Semrawut apalagi. 

Kabel-kabel yang selama ini mempermudah hidup warganya, dianggap biang bencana. Anehnya aktivitas bongkar pasang itu tanpa koordinasi, jalanan baru selesai diratakan setelah dibongkar, akan dibongkar kembali. Jika bulan ini kabel-kabel optik membentang, esoknya selang-selang tumpang tindih, memuntahkan air yang bocor dari selang-selang PAM yg sedang dibongkar. Duh, wajah Jakartaku. Inilah miniatur Indonesia yang semrawut dan egosentris. Tambang emas para penguasa-penguasa rakus dan haus kekuasaan.

Di kota inilah aku terdampar, mengais rejeki, dan menata karir. Mungkin istilah kerennya untuk eksistensi dan aktualisasi diri. Tapi siang ini segala rutinitas bergengsi yang sekian belas tahun meringankan langkahku, terasa memenjarakan. Semua itu karenamu. Kau telah menarikku ke pusaran waktu masa silam. Mengisi seluruh ruang kosmoku hanya tentangmu, tak yang lainnya. Karir, karib, dan keluarga bukan lagi oksigen pelega rongga dada. Aku tergulung, semakin dalam terhanyut.

Kau adalah matahariku, katamu dalam salah pesan singkatmu. Apalah arti matahari bagi malam, elakku. Sinarmu tak nampak, yang menemaniku rembulan. Ke mana kau sembunyi ketika itu cecarku. Tak sekali-kali aku sembunyi. Aku sedang menyerap saripati alam, untuk menampakkan kekuatan magisku ketika fajar. Pandanglah langit ketika fajar, matahari tetap di sana bukan?

Ah gombal. Kenapa berpuluh tahun silam kau pergi tanpa pesan? Tak cukupkah kau melukaiku sekali saja? Tak inginkah kau melihatku bahagia dengan dia, seperti doa yang ku rajut untukmu juga? Aku ingin kau bahagia, tidakkah kau begitu pula?

"Kau bahagia?" kau balik bertanya.

Aku terdiam. Ketika kau yang menyodorkan tanya itu, kenapa lidahku menjadi kelu? Sosok-sosok yang mengisi hidupku silih berganti datang. Bak siluet wajah belia putera dan puteri angkat suamiku hadir. Yah, kehadiran mereka memang samar-samar di hatiku. Tak terpatri dalam. Bagi mereka aku yang telah menghancurkan memorial itu. Menyingkirkan kenangan Ibu mereka dari hidup suamiku. Walaupun jasad Ibu angkat mereka itu telah terkubur, tapi mereka tak pernah rela suamiku mengubur segala nostalgi itu. Ironis bukan? Jadi dalam sebuah kalimat klausa aku adalah sebab. Duh.

Suamiku? Dia lelaki biasa. Tak ada yang istimewa. Biasa aku katakan, karena sentuhannya tak sanggup mendebarkan jantungku. Dan tak adanya, tak akan menebar jaring rindu di hatiku. Dan malam-malam kami yang tersemai, tak pernah bertunas. Karena sekian tahun tak ada tangis bayi mungil yang memecah malam. Tak ada mata memerah dan setengah terkantuk dengan kepala terunduk karena mengganti popok yang basah. Tak ada dekap kasih ketika bibir mungil itu menyedot air susu kehidupan dari dadaku. Tidakkah rinduku itu adalah naluri seorang ibu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun