Mohon tunggu...
Dewi Bahagia
Dewi Bahagia Mohon Tunggu... -

Seorang yang memiliki hobi menulis, membaca, mendesign, online, camping, dan berkreatifitas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Campur Aduk Pemilu 2014

25 April 2014   15:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BAGAIMANA HASIL PEMILU 2014?

Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga independen, tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang mencapai 25 persen suara nasional. Artinya tidak ada satu partai yang bisa sendiri mencalonkan kader terbaiknya sebagai presiden karena tidak ada yang memenuhi ambang batas minimum (presidential threshold) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Artinya lagi, satu partai politik harus bergabung dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas 25 persen suara nasional itu. UU itu memang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik yang meraih minimal 20 persen dari 560 kursi DPR RI atau partai politik yang meraih 25 persen suara sah secara nasional, yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Hasil hitung cepat yang disiarkan oleh Antaranews yang merupakan hasil dari kerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) hingga pukul 18.50 WIB menunjukkan hasil bahwa PDI Perjuangan meraih 18,56 persen, Partai Golkar 14,71 persen, Gerindra 11,58 persen, Partai Demokrat 10,03 persen, PKB 9,38 persen, PAN 7,52 persen, PKS 6,84 persen, NasDem 6,65 persen, PPP 6,63 persen, Hanura 5,55 persen, PBB 1,64 persen, dan PKPI 0,92 persen. (http://www.antaranews.com/pemilu/berita/)

PANEN GOLPUT?

Angka golongan putih (Golput) atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 diduga lebih tinggi ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya. “Kami memprediksi angka golput kali ini mencapai 34,02 persen,” kata Rully Akbar, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rabu, 9 April 2014. Rully mencatat, angka golput pada pemilu 1999 hanya 10,21 persen. Pada pileg 2004 angkanya naik menjadi 23,34 persen dan pada pemilu legislatif 2009 naik lagi menjadi 29,01 persen. Kali ini, berdasarkan perhitungan cepat LSI, angka Golput 34 persen.

Menurut Rully, faktor penyebab tingginya angka golput. Pertama, persoalan administratif yang mana seseorang tidak terdaftar dalam suatu TPS. Kedua, alasan teknis seperti tidak ada waktu untuk mencoblos karena kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Ketiga, “Atau alasan politis yakni kepribadian seseorang yang tidak percaya lagi pada institusi pemilu, dan merasa tidak ada keterkaitan mereka dengan calon-calon atau partai,” kata dia.

Sedang CSIS dengan perhitungan agak berbeda akhirnya menetapkan persentase pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum legislatif 2014. Dari hasil kalkulasi mereka melalui metode penghitungan cepat, tingkat ‘golongan putih’ pemilu tahun ini hampir menyentuh angka 25 persen. “Tingkat partisipasi pemilih 75,2 persen. Sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,8 persen,” tulis peneliti CSIS Philips J. Vermonte, melalui keterangan pers, Rabu (9/4).

Ini artinya jumlah golput versi perhitungan cepat sejumlah 46.450.000 orang. Jika mengikuti versi LSI yang diprediksikan sejumlah 34 %  maka identik dengan sejumlah 63.172.000 orang.

Golput adalah kekuatan politik laten yang suatu saat bisa menjelma menjadi kekuatan politik manifes. Dalam berbagai teori gerakan sosial politik menyebut bahwa lahirnya gerakan sosial politik pada awalnya berangkat dari antipati terhadap kesenjangan atau ketidakharmonisan antara harapan dan kenyataan.

Dengan melihat sebaran prosentase perolehan suara Pemilu 9 April 2014 kita bisa memprediksikan bagaimana profil pilpres dan kabinet yang lahir dari Pemilu 2014. Paling tidak terdeskripsikan secara global antara lain :

Pertama, capres dan cawapres yang berpeluang diusung dan didukung oleh mesin parpol adalah kolaborasi antara PDI-P dan Golkar. Kedua, jika terjadi kondisi sebagaimana pada point pertama maka profil kabinet mendatang pada prinsipnya masih sama dengan profil kabinet hasil pemilu 2009. Yakni kabinet Koalisi dibawah komando Jokowi.

Pertanyaannya adalah apakah statement yang disampaikan oleh Busyro Muqoddas di depan 126 delegasi berbagai perguruan tinggi akan terulang bahwa korupsi sistemik adalah hasil dari kabinet Koalisi SBY. Substansi korupsinya sama tetapi bedanya ke depan akan banyak korupsi yang dilegalisasi dan dilegitimasi oleh undang-undang. Produk legislasi akan dipergunakan sebagai alat legitimasi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mengeruk keuntungan individu dan golongan. (http://www.islampos.com/golput-pemilu)

DUA FAKTOR PEMILU 2014 MUSTAHIL MEMBAWA PERUBAHAN HAKIKI

Menurut Andi Azikin Pileg pada April dan Pilpres Juni 2014 tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

“Jadi saya melihat mustahil harapan rakyat dapat dipenuhi karena dua syarat untuk perubahan kepada yang lebih baik itu tidak dipenuhi,” ungkapnya (16 Januari’14).

Syarat tersebut, menurut Andi meliputi individu calon pemimpin  dan sistem pemerintahan yang diberlakukan. “Karena saya lihat calon pemimpin yang ada di Indonesia tidak ada yang memiliki integritas akhlak yang sudah teruji dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara fundamental, calon presiden yang digadang-gadang para tokoh politik —baik secara resmi maupun tidak resmi— dicalonkan hanya karena popularitas dan uang saja,” ungkapnya.

Menurutnya, publik juga menyaksikan beberapa kali pergantian pemimpin baik sebelum maupun setelah reformasi, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada perubahan  ke arah yang lebih baik.

Justru sebaliknya, perubahan negatif yang muncul. Kemiskinan semakin besar, pengangguran semakin besar. Dan sistem yang diterapkan yakni sistem demokrasi ini, tidak ada jaminan melahirkan pemimpin yang berkualitas. “Yang ada adalah jaminan mereka menjadi koruptor.

Salah satu penyebabnya adalah besarnya biaya politik dalam demokrasi. Siapa pun orangnya, bahkan dari partai Islam sekalipun pasti akan tergilas ke dalam sistem yang mahal ini,” pungkas pakar Ilmu Pemerintahan tersebut. (mediaumat.com, 3/1/2014)

Wallahu a’lam bissowab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun