Ketika bekerja di Surabaya, jarak antara kosan dan tempat bekerja cukup jauh. Kosan di Surabaya Timur karena dulu juga kosan saat kuliah, sedangkan tempat bekerja di Surabaya Barat. Oleh karena pekerjaan saya kebanyakan di lapangan dan belum punya kendaraan pribadi, maka dulu saya mengandalkan peta dan rute angkutan umum Surabaya. Hemat.
Meskipun kondisi transportasi umum tidak selengkap dan sebaik di Jakarta, rute angkot sangatlah membantu. Ketika misalnya liputan di tempat X misalnya, saya tinggal melihat lokasinya di peta lalu mencocokkan rute angkutan umumnya.
Gara-gara dulu sering buka buku peta dsn rute, angkutan umum, dulu lumayan hafal dengan nama dan rute lyn juga rute bus kota. Lumayan menghemat daripada naik taksi. Ya, jaman itu belum ada ojek online. Keberadaan ojek di Surabaya saat itu juga sangat langka.
Namun, kadang-kadang ada saja liputan dadakan yang tempatnya belum jelas. Kalau bareng fotografer sih enak, tapi karena buru-buru kami biasa berangkat dari tempat terakhir baru bertemu di lokasi.
Oleh karena saya hafal rute angkutan (mikrolet di Surabaya disebut lyn) maka bujet transportasi di Surabaya lumayan terkontrol. Dulu saya perkirakan sehari ke 3-5 tempat liputan, kemudian ke tempat kerja dan pulang. Rata-rata saya anggarkan Rp20 ribu untuk transportasi. Saat itu ongkos naik lyn Rp1.200, -.
Ketika kemudian makin punya banyak teman sesama wartawan, kami kadang-kadang berangkat bareng ke tujuan liputan berikutnya, kecuali liputan yang sifatnya eksklusif. Saya ganti menraktir makan siang atau lainnya untuk ongkos  tumpangan. Hehehe sama-sama menguntungkan.
Di Jakarta, Transportasi Umum Lebih Baik dan Komplit
Beruntung ketika bekerja di Jakarta, saya mendapat kosan di belakang kantor. Alhasil ke kantor tinggal jalan kaki. Apabila ada rapat di Kementerian atau institusi lainnya tinggal berangkat bareng-bareng rekan kerja lainnya.
Nah, kemudian saya pindah kerja di Depok. Awalnya saya bergantung dengan bus patas AC yang lewat tak jauh dari kosan. Namun, bus tersebut hanya muncul sejam sekali. Beberapa kali saya apes. Ketika sedang naik jembatan penyeberangan, bus datang. Sudah saya panggil-panggil, tapi bus terus berjalan. Kalau nunggu sejam lagi, maka bisa kesiangan.
Gara-gara kejadian tersebut, saya jadi tak ingin bergantung ke bus patas tersebut. Alternatifnya, naik kereta dari Juanda. Hanya, naik TransJakarta pada jam kerja begitu penuh dan padat. Rata-rata baru 4-5 bus baru bisa masuk dan menunggunya pun saat itu begitu lama. Bisa satu jam waktu terbuang hanya menunggu bus.
Pilihan naik KRL pun saya coret karena kosan memang jauh dari stasiun. Saat itu juga belum ada ojek online. Jadinya saya bergantung naik bus.
Agar dapat banyak pilihan bus, maka saya kemudian menunggu di seberang Gudang Garam. Memang sih harus naik bus sekali ke sana tapi tak apa-apa, pilihannya banyak. Ada bus dari Tanjung Priuk menuju Depok yang juga lewat sini, bus Kowanbisata. Juga ada bus ekonomi yang turun ke Pasar Rebo, lalu bisa nyambung naik mikrolet arah Depok.