Bubur campur yang terdiri dari bijih salak, bubur mutiara, bubur sumsum, dan ketan hitam kemudian disiram dengan kuah santan adalah takjil yang paling kucari. Demi bubur campur, aku rela war takjil alias berebut atau antri panjang saat berburu takjil. Sayangnya penjual bubur campur di dekat rumah makin susah dicari.
Bubur campur itu rasanya gurih dan manis, dengan tekstur yang beragam, sehingga memberikan pengalaman yang kaya cita rasa. Ketan hitam berserat, agak kasar, bersanding dengan bubur sumsum yang lembut guruh. Bijih salak manis dan kenyal. Sedangkan bubur mutiara seperti meluncur ke ketika memasuki mulut.
Di Malang harga seporsi bubur campur sekitar Rp5-8 ribu. Sekali menyantapnya akan puas dan cukup kenyang, sehingga makan berat saat berbuka puasa harus ditunda setelah menjalankan sholat Maghrib.
Makanan takjil kedua yang membuatku siap antri panjang adalah kue puthu. Salah satu penjualnya yang beken di Kota Malang adalah Puthu Lanang alias Puthu Celaket.
Dari rumah orang tua lokasinya tidak begitu jauh. Masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sebelum warung jajanan ini dibuka biasanya sudah ada antrian. Dan, antrian bakal semakin panjang menjelang Maghrib.
Sebenarnya bisa sih pesan dengan ojek online tapi ada kepuasaan sendiri ketika melihat si penjual dengan beberapa stafnya melayani pembeli. Â Gaya mereka saat melayani seperti sebuah atraksi pertunjukan tersendiri.Â
Mereka nampak sigap dan telaten dalam mengupas bungkus daun pisang dari lupis lalu memotongnya dengan benang. Lupis itu ditaruh di wadah daun pisang Lalu diambilnya puthu yang dikeluarkan dari cetakan bambu, dimasukkan juga kelepon dan cenil. Baru kemudian aneka jajanan warna-warna itu ditimbun dengan parutan kelapa dan gula merah cair. Duh sedapnya.
Seporsinya dulu Rp10 ribu tapi sepertinya sekarang sudah Rp12.500, -. Satu bungkus bakal begitu mengentangkan jika disantap sendirian. Apalagi jika buat takjil. Porsi yang pas yaitu sebungkus untuk berdua atau bertiga.