Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Antri Berburu Tanda Tangan Imam dan Pesantren Kilat Bikin Nostalgia

2 April 2023   17:46 Diperbarui: 2 April 2023   17:50 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waktu SD kami harus ikut pesantren kilat, saat itu kami harus makan serba cepat karena antrian wudu sangat panjang (dokpri) 

Bulan Ramadan menyimpan banyak kenangan masa kecil. Ada banyak momen lucu dan menyenangkan pada masa tersebut sehingga membuatku tergelak ketika mendengarkan cerita itu lagi dari kawan atau kakak ketika kami berkumpul.

Sebenarnya aktivitas Ramadan yang kualami mungkin tak berbeda jauh dengan yang kalian juga alami. Kami mendapat libur awal Ramadan, aktivitas belajar dipercepat, kami kemudian asyik main video game, tidur siang, mengaji di masjid atau membantu ibu memasak dan membersihkan rumah, berbuka bersama, lalu tarawih di masjid. Baru jika ada yang saku lebih, kamu patungan membeli kembang api, lalu kami berhemat-hemat menyulutnya.

Ada dua aktivitas yang hanya ada saat Ramadan yang kukenang. Yang pertama adalah mengantri tanda tangan imam tarawih dan yang kedua yaitu pesantren kilat.

Yuk Antri Tanda Tangan Imam
Nah aktivitas meminta tanda tangan imam tarawih ini banyak dipersyaratkan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Tujuannya positif, yakni mendorong anak-anak untuk rajin sholat Isya dan tarawih di masjid. Hanya namanya anak-anak, ada kalanya sifat malas juga mendera.

Aku dan kakak nomor dua kebagian tugas tersebut. Kakak perempuan aman karena ia sudah duduk di bangku SMP saat kewajiban tersebut diberlakukan.

Jadilah aku dan kakak laki-laki, seusai berbuka puasa tak bisa berlama-lama beristirahat. Kami harus bersiap ke masjid.

Selain mukena dan sajadah, aku membawa buku absen dan buku pelajaran. Ada imam yang gerakan sholat dan bacaannya agak perlahan-lahan, sehingga ada jeda tiap dua rakaat. Waktu sekian detik itu kugunakan untuk belajar. Oleh karena waktu Isya dan tarawih di masjid dekat rumah agak lama. Total ada 23 rakaat dengan witir. Kira-kira 90 menit minus ceramah. Untungnya ceramah hanya di momen spesial.

Seusai berdoa witir dan mengucapkan doa niat berpuasa, aku dan anak-anak seusiaku langsung menghambur ke depan, mencari imam. Saat itu imam menjadi semacam selebriti. Anak-anak dengan sabar mengantri meminta tanda tangan. Jika aku sudah dapat, maka aku mengucapkan terima kasih dan langsung berlari pulang.

Imam masjid di masjid dekat rumahku ada tiga orang yang jadwalnya bergantian. Biasanya 3-4 hari sekali bergantian. Aku dan kakak bisa menebak dari lantunan adzan Isya. Jika suaranya tegas pasti Imam A. Jika suara imamnya lembut mendayu-dayu, pasti imam B dan seterusnya. Tiap Imam punya penggemar tersendiri. Kalau bagi anak-anak sepertiku semakin tangkas dan semakin lincah gerakan Tarawih maka akan semakin baik. Semakin cepat semakin baik.

Pemandangan antrian ini semakin sepi menjelang lebaran. Jemaah juga mulai sepi. Anak-anak sepertinya mulai sibuk membantu orang tuanya memasak, membuat kue, atau membeli baju baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun