Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Masalah Industri Perfilman 70an yang Terus Berulang hingga Kini

10 Juni 2021   21:51 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:01 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Pengantin Remaja dulu sangat populer dan membuat industri film 70an bergairah (sumber: MUBI)

Namun pada tahun 70an sempat muncul sebuah fenomena unik, di mana industri film Hongkong dan industri film mancanegara lainnya agak lesu.

Di satu sisi minat penonton pada industri perfilman mulai tumbuh. Klop. Saat itu industri perfilman bersuka cita dan bergairah. Meski hal tersebut tak berlangsung lama karena muncul ancaman berupa pembajakan dan kehadiran media baru.

Komposisi film nasional dan film manca di bioskop direkomendasikan 60 banding 40. Namun hal ini dirasa kurang logis oleh banyak pihak. Yang pertama karena jumlah film nasional masih terbatas, rata-rata angkanya masih di bawah 200 buah per tahun.

Yang kedua, kualitasnya juga tidak merata, ada yang bagus, ada yang buruk. Dan yang ketiga peminat film nasional juga tidak sebanyak film manca, sehingga pemilik dan pengelola bioskop pun was-was merugi.

Dulu film-film sedih banyak peminat (sumber: discogs)
Dulu film-film sedih banyak peminat (sumber: discogs)
Entah bagaimana solusi terbaiknya? Sepertinya perlu dimulai dari peningkatan kualitas film Indonesia sehingga nantinya makin banyak penggemar film Indonesia. Jika peminatnya banyak maka pengelola bioskop juga pasti tergoda untuk menambah layar seperti kejadian pada film "Pengabdi Setan" dan "Warkop DKI Reborn Part I".

Film Sejarah yang Minim Dibuat
Tidak mudah membuat film sejarah. Ada banyak kriteria untuk membuat film sejarah. Keakuratan, urutan peristiwa, di antaranya.

Para pemain dan sutradaranya juga rawan stress karena beban berat di pundaknya. Film "R.A Kartini", misalnya. Syumandjaya, sang sutradara bobotnya langsung turun 8 kg, sedangkan Lenny Marlina, pemeran Kartini enggan berperan di film sejarah lagi karena beban beratnya memainkan tokoh besar.

Belakangan ini film sejarah jarang dijumpai. Film "Bumi Manusia" dan "Kartini" cukup sukses, namun film seperti "Wage" dan "Sultan Agung" tak banyak peminatnya.

Padahal film sejarah sangat banyak manfaatnya. Nyoo Han Siang produser film "November 1828 " tak kapok membuat film sejarah. Baginya film sejarah itu memiliki manfaat mengenalkan sejarah Indonesia ke generasi muda, memberikan pendidikan dan wawasan, serta mengorbarkan semangat menghargai pahlawan. Roy Marten, produser dan pemeran Wolter Monginsidi juga memberikan alasan, dari menyaksikan film sejarah maka penonton akan dapat belajar dari sejarah.

Film sejarah makin minim dibuat (sumber: magmaentertainment)
Film sejarah makin minim dibuat (sumber: magmaentertainment)
Pembajakan dan Ancaman Media Baru
Wah tanganku sudah pegal ngetiknya. Untungnya sudah masuk topik terakhir hehehe.

Pembajakan masih sulit diantisipasi meski sekarang makin sedikit dijumpai lapak-lapak penjual DVD bajakan karena saat ini tarif langganan platform streaming semakin terjangkau. Jenis platform-nya semakin beragam. Ada yang bisa langganan harian juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun