Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Segurat Kisah Korban Anti-PKI dalam "Sang Penari" dan "Bangkit dari Bisu"

30 September 2020   18:31 Diperbarui: 30 September 2020   18:48 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Srintil sering mendapat undangan tampil di acara yang disponsori organisasi PKI (sumber: kapanlagi.com)

Pada masa penumpasan gerakan 30 September PKI, tak sedikit rakyat biasa yang menjadi korban. Ada yang tak tahu-menahu atau sekadar ikut-ikutan kegiatan yang diadakan PKI lalu ditangkap. Ada yang dipenjara belasan tahun ada pula yang wajib lapor. Cerita tentang korban tuduhan tersebut juga dikisahkan dalam film "Sang Penari".

Dalam film yang dibesut Ifa Isfansyah ini dikisahkan desa tempat tinggal Srintil (Prisia Nasution), Dukuh Paruh, kemudian kedatangan seseorang yang mengaku akan membantu memajukan desa tersebut. Dukuh Paruh memang desa yang miskin, tanahnya gersang.

Seseorang itu berjanji akan membebaskan mereka dari kemiskinan. Ia meminta memasang sebuah papan di desa tersebut. Warga desa yang buta huruf pun setuju-setuju saja.

Di sisi lain Srintil makin populer sebagai penari ronggeng. Ia sering mendapat undangan menari di acara kesenian rakyat yang diadakan partai komunis.

Lalu gerakan 30S PKI itu menyeret desa tersebut. Desa itu kemudian diobrak-abrik oleh aparat yang menyebut mereka gerakan anti komunis. Warga desa pun ditangkap dan diinterogasi. Tak terkecuali Srintil.

Dukuh Paruk lalu hancur dan tak berpenghuni. Warganya diangkut entah ke mana. Rasus (Oka Antara), teman kecil Srintil yang telah menjadi tentara, tak dapat menolong warga desanya juga orang yang dicintainya pada masa kecilnya.

Gambaran tentang betapa kacaunya situasi politik pada masa itu tergambar jelas dalam film tersebut. Rakyat jelata yang buta huruf dan tak tahu apa-apa diperalat secara politik tanpa mereka ketahui. Alhasil ketika ditangkap, mereka juga tak tahu letak kesalahan mereka dan hanya bisa pasrah pada hukuman yang menanti.

Sebuah film roman yang tragis. Srintil yang hanya ingin membayar dosa kedua orang tuanya dengan menjadi penari ronggeng dan berniat memajukan desanya, tak bisa berbuat apa-apa ketika ia dituduh sebagai kaki tangan PKI.

Bangkit dari Bisu
Sebuah film lainnya pernah kusimak tentang kelamnya masa itu ada film pendek berjudul "Bangkit dari Bisu. Waktu itu aku menyaksikannya di acara nobar yang diadakan di Goethehaus.

Dalam film yang disutradarai oleh Shalahuddin Siregar ini, dikisahkan sebuah paduan suara yang para anggotanya merupakan penyintas, anggota keluarga mereka yang menjadi korban penangkapan dan pembunuhan gerakan antikomunis, tanpa melalui proses pengadilan.

Bu Utati, salah satu yang bercerita dalam film ini. Ia ditangkap aparat sepulang berlatih paduan suara, lalu mendekam di penjara selama belasan tahun. Ia tak tahu menahu jika tempatnya berlatih, masuk dalam bagian gerakan PKI. Ada juga kisah dari anak yang orang tuanya di-PKI-kan. Ia harus selalu wajib lapor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun