Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suatu Ketika di Lokalisasi Surabaya

1 Januari 2019   14:38 Diperbarui: 1 Januari 2019   18:02 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah penutupan, Dolly kemudian dihias dengan mural (dok. Kompas.com)

Saat mengobrol dengan beberapa PSK aku tertegun. Selama ini aku memiliki simpati khusus kepada mereka. Aku menganggap mereka korban, ada yang menjadi PSK karena perdagangan wanita dan ini sebuah realita, juga ada yang karena terbelit masalah ekonomi.

Dia mengaku berasal dari sebuah kabupaten di Jawa Timur. Keluarganya tidak ada yang tahu profesi sebenarnya karena ia mengaku menjadi pramuniaga. Dalam sehari ia bisa "melayani" 8-9 pelanggan dengan tarif sekitar Rp 150 ribu masa itu. Ia memang terbilang cantik dengan baju yang seksi.

Aku bertanya apakah kiranya dia berniat melepaskan diri dari jeratan dunia hiburan ini? Jawabannya membuatku terdiam. Ya, memang tidak semua karena alasan ekonomi dan perdagangan wanita meskipun persentasenya kecil. Ia mengaku menyukai pekerjaannya karena menganggapnya mudah.

Kunjungan ini kemudian berlanjut pada malam hari. Kami menuju berbagai tempat prostitusi di Surabaya. Di Surabaya Timur dulu ada tempat yang disebut kawasan gay, menyasar ke anak-anak muda karena di situ ada berbagai kampus. Mereka punya majalah Gaya Nusantara. Aku tidak tahu apakah majalah dan komunitas itu masih ada. Aku sempat mendapatkan majalahnya dan kemudian pusing membaca isinya. Ada sebuah rubrik seperti kontak jodoh yang isinya laki-laki mencari laki-laki dengan kriteria khusus. Kalangan lesbian dulu juga punya tempat khusus di sebuah taman hiburan yang buka malam hari. Aku tidak tahu untuk saat ini. 

Oh ya prostitusi itu pelakunya bukan hanya perempuan tapi juga pria dan kaum waria. Untuk pria, aku pernah mendapat kabar bahwa ada di sebuah pusat perbelanjaan tak jauh dari Monkasel (Monumen Kapal Selam). Di kawasan itu juga biasanya ada waria yang menjajakan diri. Bila ada razia kadang-kadang ada yang sengaja menceburkan diri di sungai karena takut tertangkap. Tapi itu sekitar satu dekade silam, entah sekarang.

Biasanya di dalam wisma terdapat sofa dan para PSK duduk di sana sementara calon 'pengguna' bisa melihat dari kaca di luar seperti aquarium (dok Kompas)
Biasanya di dalam wisma terdapat sofa dan para PSK duduk di sana sementara calon 'pengguna' bisa melihat dari kaca di luar seperti aquarium (dok Kompas)
Untuk lokasi PSK di Surabaya masa itu bukan hanya Dolly. Perjalanan kami dimulai dari sebuah jalan protokol kemudian mengarah ke makam Kembang Kuning. Di situ kata pemandu kami, PSK-nya sudah berumur. Tarifnya murah. Aku merasa ngeri karena di situ adalah pemakaman. Ya kalau tidak ada kamar, bisa jadi dilakukan di lokasi pemakaman, lanjut si pemandu. Aku mengernyit.

Dari pencahayaan lampu jalan yang samar-samar aku melihat perempuan yang berdiri di pinggir jalan. Dalam hati aku merasa sedih.

Kemudian kami menuju kawasan Jarak, di bilangan Putat Jaya, salah satu pesaing Dolly. Lokasinya tak jauh dengan Dolly. Di sini tarifnya lebih murah daripada Dolly, karena usia para PSK-nya lebih tua. Alumni Dolly yang sudah dirasa tak muda juga ada yang  berpindah ke Jarak. Lokalisasi Jarak kemudian ditutup lebih dahulu, menyusul Dolly pada tahun 2014.

Tujuan terakhir kami adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Julukan yang mengenaskan. Suasananya sangat berbeda dengan saat kami ke sini siang sebelumnya. Sangat ramai, ada banyak mobil lewat di sini dan kemudian menepi. Para PSK di beberapa wisma duduk manis di sebuah sofa panjang di ruang tamu dengan kaca aquarium. Seorang pria berkemeja dan berdasi mendekati mobil kami dan menyodorkan sebuah buklet besar seperti buku menu. Kuduga isinya daftar mereka yang bekerja di sana dan tarifnya.

Dulu ada pro dan kontra pada saat akan dilakukan penutupan (dok. Kompas.com)
Dulu ada pro dan kontra pada saat akan dilakukan penutupan (dok. Kompas.com)
Suasana ini berbeda dengan ketika aku menginap di penginapan tak jauh dari red district di Singapura. Saat sore menjelang malam suasananya juga berbeda, sama seperti di Dolly. Ada banyak rumah dengan kaca lebar memajang para kupu-kupu malam. Tapi banyak juga yang berdiri di pinggir jalan. Tidak ada pria berkemeja rapu yang mengajak para pejalan kaki atau mereka yang bermobil untuk melihat buku "menu".

Keesokan harinya aku mendapat wawasan berbeda di Makassar. Kami berjumpa dengan ODHA di RSUD yang penampilannya tak ada bedanya dengan mereka yang sehat. Ia bercerita mendapatkan AIDS karena sering berganti pasangan dan tak menggunakan pengaman. Saat ini ia rajin mengonsumsi ARV dan memeriksakan diri secara berkala. Malamnya kami bertemu dengan dua PSK jalanan. Mereka nampak kagok ketika "dipesan" hanya untuk diwawancarai. Masalah ekonomi dan minimnya ketrampilan tetap menjadi alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun