Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Click] Terjebak di Stasiun Tanjung Priok

14 Oktober 2016   23:35 Diperbarui: 14 Oktober 2016   23:42 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Tanjung Priok Masa Kini (dokpri)

Hari Minggu pagi aku bangun dengan malas-malasan. Seandainya tidak ada janji dengan Arum dan Syifa berpiknik di Pantai Ancol rasanya ingin tiduran lagi. Piknik di Ancol sebenarnya sudah kurang menarik, pasti akhir pekan ini rame banget. Duhhh...masih ngantuk. Hampir saja mataku terpejam, sebuah pesan masuk.

Sudah sampai mana nih? Aku sudah di stasiun Kota.

Busyet Arum rajin sekali. Lalu benakku seakan mengirimkan alarm. Oh iya bukannya jadwal kereta dari Kota ke Tanjung Priuk hanya beberapa kali dalam sehari. Aaahhh...masih ada bus Trans Jakarta santai saja, lebih baik aku melanjutkan tidur. Enaknya meringkuk di bawah selimut. Si Nero saja masih asyik mendengkur. Kumis kucingnya berkedut-kedut, sepertinya Nero lagi bermimpi.

Saat hampir terlelap. Lagi-lagi ada pesan. Kali ini dari Syifa. Apalagi sih?

Mba Dewi sudah dimana? Syifa dan Mba Arum sudah di Stasiun Kota.

Wah aku tidak berkutik. Tidak enak kalau berbohong aku sudah berangkat sementara aku baru mengucek-ucek mata dan menguap lebar. Eh sih Nero ikutan menguap lalu pindah posisi.

Secepat kilat aku mandi dan menyiapkan tas. Aku menyiapkan  topi lebar karena pantai Ancol pasti panas. Limabelas menit aku sudah duduk manis di omprengan menuju halte bus Trans Jakarta di Pasar Rebo. Kemana nih busnya, kok belum ada yang muncul. Aku gelisah sudah 20 menit tidak ada tanda-tanda kehadiran bus. Penumpang lain juga mulai kasak-kusuk. Ada pula yang beralih ke angkutan lain. Aku telah mengirim pesan ke Arum dan Syifa untuk bertemu langsung di Ancol. Aku memutuskan naik bus TJ menuju Ancol. Tapi kemana busnya gerangan?

Hah sudah 30 menit. Aku lalu memutuskan keluar dan menuju stasiun Tanjung Barat. Stasiun ini lengang tidak banyak yang menggunakan jasa commuter line pada Minggu pagi. Belum genap lima menit menunggu sudah ada kereta menuju Stasiun Kota. Syukurlah.

Senangnya naik kereta pada hari Minggu. Aku mendapatkan tempat duduk. Hore..hore...rasanya ingin berjingkrak. Jarang-jarang aku dapat tempat duduk di bus TJ maupun CL, selayaknya aku bersorak.

Si Arum dan Syifa telah mengirimkan foto-foto welfie di pantai. Eh ada Mba Muthiah dan Pak Isson juga. Pose mereka lucu-lucu bak abege.

***

Empatpuluhlima menit kemudian keretaku telah tiba di Stasiun Kota. Wah leganya. Kini tinggal mencari jalur yang menuju ke Ancol. Aku melirik jamku. Waduh kereta berikutnya jam berapa ya? Wah kalau lagi dicari kenapa petugasnya tidak kelihatan ya.

Aku ingat pernah berjalan-jalan menuju Stasiun Tanjung Priuk pada bulan puasa silam. Jalurnya kalau tidak salah ingat di sini deh. Aku sok yakin.

Keretanya sih ada. Pasti sebentar lagi bakal berangkat. Aku pun masuk. Gerbongnya sangat sepi penumpang, kira-kira hanya sebanyak jumlah jariku. Ah tak apa-apalah sepi malah asyik, bisa dapat tempat duduk.

Aku hendak mengirimkan pesan ke Arum kalau aku sudah duduk manis di kereta menuju Stasiun Ancol. Tapi suara pintu kereta yang menutup mengagetkanku. Aku terlonjak. Dan ketika membuka layar ponselnya aku merengut sinyalnya tidak ada. Huuhhh.

Tanpa akses internet aku mati gaya. Gara-gara buru-buru aku lupa membawa buku bacaan. Penumpang juga duduknya jauh-jauh tidak ada yang bisa diajak mengobrol. Lama-lama kantukku tiba dan tak lama aku sudah pulas.

Saat bangun, kereta sudah berhenti di perhentian terakhir. Aku menebaknya karena penumpang sudah tidak ada. Kejam nian tidak ada yang membangunkanku. Wah kalau begitu aku pesan ojek online saja.

Seharusnya aku turun di sini nih (dokpri)
Seharusnya aku turun di sini nih (dokpri)
***

Sinyal ponselku masih saja nol. Aku memutuskan untuk turun dari kereta dan bertanya ke petugas angkutan umum menuju Ancol.

Rasanya bangunan ini berbeda dengan sewaktu aku beramai-ramai ke sini. Bangunannya nampak lebih elegan dan atmosfernya berbeda. Tiba-tiba bulu kudukku meremang. Aku gemetaran. Ada apa?

Aku melihat sekelilingku. Kereta yang kunaiki nampak berbeda. Jalur kereta juga berbeda. Bangunan stasiun ini jauh lebih artistik. Apakah aku salah turun? Jangan-jangan aku turun di stasiun  yang belum pernah kusinggahi. Jangan-jangan aku salah naik kereta.

Para penumpang lebih banyak dari yang kuduga. Banyak dari mereka pria dan wanita asing dengan jas dan gaun panjang. Ada juga para pria dan wanita dengan blangkon dan kebaya. Aku tertawa-tawa. Pasti aku berada di sebuah syuting. Jangan-jangan Arum cs tahu bakal ada syuting dan mereka mengerjaiku.  Eh mereka kan turun di Stasiun Ancol jadi mereka tidak tahu bakal ada apa di Stasiun Tanjung Priok.

Aku lalu bertanya ke seorang bapak-bapak berkumis dengan blangkon dan beskap. Ia nampak berwibawa. Aku mengucapkan permisi dan bertanya pintu keluar untuk menunggu angkutan umum menuju Ancol. Ia nampak kebingungan dengan pertanyaanku dan kemudian menjawab dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa Belanda. Aku melongo tidak paham dengan kata-katanya. Lalu aku bertanya hal serupa ke pasangannya yang mengenakan kebaya dan bersanggul. Ia juga nampak bingung dan menjawab tidak tahu dalam bahasa krama alus.

Aku menggaruk-garuk kepalaku. Lalu memutuskan bertanya ke petugas penjaga pintu keluar. Wah penjaganya bule juga. Pasti ini syuting era kolonial. Aku diam-diam salut dengan sutradaranya yang begitu detail mengurus kostum dan pernak-pernik untuk keperluan syuting.

Aku putuskan untuk bertanya dalam bahasa Inggris tentang pintu keluar yang mengarah ke Ancol. Ia nampak bingung dan rekannya mencurigaiku. Ia menjawabku dalam bahasa Belanda. Lalu mengeluarkan kata perintah yang sepertinya berarti menuduhku. Aku menduga-duganya. Lalu entah kenapa kemudian aku berlari kencang dan mereka mengejarku. Aku sudah hampir di pintu keluar. Aku pasti bakal lolos dari kejaran mereka. Eh ini film apaan sih, ceritanya aku jadi figuran nih?

***

Wuih aku lolos. Pemandangan di luar mengejutkanku. Sangat berbeda dengan yang kulihat terakhir kali ke sini. Tidak ada keramaian angkutan umum dan ojek. Jakarta utara yang ini lebih lengang dan suasananya membuat perasaanku mencelos. Aku menoleh ke belakang, melihat bangunan stasiun ini. Seperti hotel, seperti bangunan asli stasiun Tanjung Priok jaman dulu.

Stasiun Tanjung Priok jaman dulu (dok. media.rooang.com)
Stasiun Tanjung Priok jaman dulu (dok. media.rooang.com)
Jadi ceritanya aku kembali ke masa lalu nih. Lalu bagaimana aku kembali ke masaku?

Singkat cerita, aku ditangkap. Aku diinterogasi macam-macam dan para petugas bule itu nampak curiga dengan bahasa Indonesiaku dan mencurigaiku bagian dari gerakan pemuda yang dipimpin Soekarno cs. Aku melirik catatan tanggal. Astaga saat ini tahun 1928, pantas mereka mencurigaiku. Pakaianku juga pasti aneh, celana dan kaus bukan tren masa itu.

Aku ditempatkan di sel yang dijaga ketat. Ponselku tentunya tak berfungsi tapi kalau berfungsi pasti Arum cs kaget dengan ceritaku. Percayalah, bangunan Stasiun Tanjung Priok ini sangat megah pada jaman kejayaannya, bahkan aku sempat melirik ada penginapannya segala sebelum aku dimasukkan ke sel di kantor.

Aku bosan dan bingung apa yang harus kulakukan di sini. Aku mendengar kata-kata Digul. Ampun deh kalau aku dikirim ke sana. Aku lalu memutuskan untuk memotret beberapa kali sebelum baterai ponselku habis.

***

Aku tak punya kawan bercakap. Eh ada sih, si pengantar makanan yang berbahasa Jawa. Ia rupanya saudara perempuan berkebaya yang kutemui sebelumnya. Ia nampak prihatin melihatku sekaligus senang bisa berbahasa Jawa di antara lingkungan yang lebih sering berbahasa Belanda.

Ia rupanya cerdik. Ia memberiku saran bagaimana jika aku mencobai naik kereta yang sama menuju rute sebaliknya. Ide yang sangat cemerlang. Tapi bagaimana caranya?

Sebelumnya ia memberitahuku rute singkat dari sel menuju peron. Ia dan aku membicarakan siasat dengan bahasa Jawa. Aku akan menumpahkan makanan dan membuat kegaduhan. Sumi, nama pembawa makanan itu akan histeris dan mengalihkan perhatian, lalu aku akan berlari kencang.

Percayalah ide itu hanya seru di kertas. Saat ini aku begitu panik dan ingin pipis saking ketakutannya. Ada banyak petugas mengejarku dengan senapan. Aku berlari menuju gerbong kereta yang siap berangkat. Aku berlari sekuat tenaga, sebuah peluru melewatiku gagal menyentuhku. Aku terus berlari. Akhirnya aku berhasil masuk ke gerbong. Mereka masih mengejarku dan penumpang di gerbong nampak ketakutan. Tapi pemandangan di belakangku lambat laun kabur. Penumpang di kanan-kiriku juga semakin mengabur. Lalu keretaku seperti masuk ke terowongan waktu yang gelap dan semuanya serba kabur.

Aku merasa pusing dan ketika membuka mataku, aku telah berada di kereta yang kunaiki seperti sebelumnya.

Apakah aku tertidur dan bermimpi? Entahlah, jika mimpi pastinya mimpi buruk.

Rupanya K'ers lagi membuat film pendek di Ancol dipimpin bang Rahab dan diarahkan Yosh Aditya (dokpri)
Rupanya K'ers lagi membuat film pendek di Ancol dipimpin bang Rahab dan diarahkan Yosh Aditya (dokpri)
Aku turun di stasiun Ancol dan berjalan menuju Ancol. Aku berjumpa dengan Syifa, Arum, dan mba Muthiah dan Pak Isson yang asyik membuat film dokumenter bersama bang Rahab. Ada bang Yosh Aditya juga asyik mengarahkan gaya dengan toanya. Tak jauh di jembatan ada si Tamita, Pak TS, dan mba Windhu lagi asyik welfie. Mereka meledekku yang terlambat dan tidak berkirim pesan sehingga tidak bisa masuk ke adegan-adegan yang telah direkam.

Aku berkata baterai ponselku mati. Aku meminjam powerbank milik Syifa. Ya lima menit kemudian ponselku hidup. Aku siap memotret keseruan kompasianer membuat film pendek. Tapi gambar di ponselku membuatku tercenung. Itu gambar sudut-sudut bangunan stasiun Tanjung Priok dari jendela sempit di sel. Astaga jadi yang tadi itu nyata!!!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun