Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Gerakan Budaya Bersih dan Senyum: Nampak Sederhana, Manfaat Berlimpah

9 Oktober 2016   21:57 Diperbarui: 9 Oktober 2016   22:07 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seandainya pantai dan lingkungan tempat tinggal nelayan ini bersih maka sungguh makin elok Desa Nelayan Poto Tano di Sumbawa (dokpri)

Kekayaan bangsa Indonesia bukan hanya dari kekayaan alam belasan ribuan pulau dan panoramanya, melainkan juga budayanya yang ramah-tamah dan senang berbagi senyuman. Namun sayangnya kebiasaan baik untuk menjaga kebersihan lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan masih belum membudaya. Untuk itulah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman sejak 19 September 2015 mencanangkan gerakan bersih dan senyum.

Keramahan dan mudahnya warga Indonesia memberikan senyumnya termasuk ke mereka yang asing sudah dikenal dan dikenang. Senyuman itu membuat mereka yang asing merasa diterima dan disambut hangat. Bercakap-cakap atau bertransaksi jual beli dengan mereka yang tulus berbagi senyuman tentu bakal lebih menyenangkan daripada yang bersungut-sungut dan ketus.

Terkadang memang ada yang menaruh pikiran buruk dan menganggap senyuman hanya sekedar pencitraan ataupun kepalsuan. Memang ada berbagai tipe senyuman, termasuk senyum yang licik. Namun senyum yang tulus pastilah berbeda dengan senyum yang dibuat-buat. Senyum yang tulus berasal dari niat yang tulus serta akan terlihat dari mata yang bersinar-sinar dan ikut tersenyum.

Senyum bagian dari keramahan. Dan keramahtamahan ini mudah dijumpai di segala sudut nusantara, baik di ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Saat saya berkunjung ke Sumbawa seorang diri dan tinggal di rumah Pak Sapiola, saya merasa diterima melihat keramahtamahan mereka. Senyuman dari tiap-tiap anggota keluarga mudah hadir, seakan-akan mereka tidak menaruh prasangka negatif ataupun curiga kepada saya yang orang asing di desa nelayan tersebut.

Pak Sapiola dan putrinya,Rina, dengan ramah mengantar saya berkeliling desa dan berlayar (dokpri)
Pak Sapiola dan putrinya,Rina, dengan ramah mengantar saya berkeliling desa dan berlayar (dokpri)
Sayangnya berbalik dengan senyuman yang mudah membayang di wajah, belum semua warga mencintai kebersihan. Saya terkadang bingung dan heran melihat kalangan anak-anak hingga kaum dewasa dengan mudahnya membuang sampah di sembarang tempat. Dan kebiasaan buruk ini bukan hanya dilakukan oleh mereka dari kalangan menengah ke bawah, tapi mereka yang penampilannya seperti kalangan menengah ke atas pun juga ada yang bersikap demikian. Sehingga, saya kurang setuju jika ada anggapan hanya mereka yang dari segi ekonomi kurang yang tidak jauh-jauh dari budaya kumuh.

Di kehidupan sehari-hari saya beberapa kali menemui pelajar dan kalangan dewasa di angkutan umum membuang wadah bekas minumannya di luar jendela ataupun di bawah kursi angkot. Saya juga beberapa kali melihat kalangan bermobil yang melempar sampah dari jendelanya ke jalanan. Saat menyusuri trotoar saya tertegun melihat anak kecil yang manis digandeng ibunya kemudian dengan santainya membuang sampah makanannya di selokan. Astaga, ibunya malah mengajarkannya seperti itu. Ya jadinya saya tidak lagi heran jika menemukan bekas wadah minuman dan plastik pembungkus makanan di selokan di samping rumah. Wong orang tuanya juga tidak bermasalah melihat anak-anaknya membuang sampah sembarangan.

Budaya kerja bakti menjaga kebersihan lingkungan di masyarakat perkotaan juga semakin pudar. Di tempat saya tinggal hanya segelintir yang bersedia untuk ikut kerja bakti. Yang tak kalah menyedihkan, tidak semua rumah punya tempat sampah. Alhasil setiap jadwal pengangkutan sampah, banyak pagar rumah yang bercentelan kresek-kresek sampah. Kesannya kumuh dan menjijikkan, padahal itu di daerah perumahan lho. Punya mobil bisa, eh beli tempat sampah saja susah.

Kebiasaan buruk menyampah ini juga mengikuti tren kekinian. Jika dulu yang dikotori adalah lingkungan sekitar seperti sungai dan selokan, tempat publik seperti lapangan terminal dan stasiun, serta transportasi umum seperti angkot, bus dan kereta api, maka seperti mengikuti tren kekinian maka yang banyak dikotori pengunjung adalah tempat wisata.

Jika Kalian berkunjung ke pantai, pegunungan, ataupun obyek wisata lainnya, terutama musim liburan, maka yang tersisa adalah tumpukan sampah. Sampahnya bukan hanya di daratan lho, tapi juga masuk ke dalam perairan.

Pada akhir 2013, saya tertegun melihat perairan di Jakarta yang kotor dan penuh sampah, bahkan ada yang mandi dengan air laut yang keruh itu (dokpri)
Pada akhir 2013, saya tertegun melihat perairan di Jakarta yang kotor dan penuh sampah, bahkan ada yang mandi dengan air laut yang keruh itu (dokpri)
Keluhan akan keberadaan sampah ini bukan hanya dikeluhkan oleh pengelola dan masyarakat sekitar, tapi juga pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan panorama. Eh mau foto-foto panorama kok di sana sini banyak sampah.

Lagi-lagi banyak hal yang menjadi tanda tanya akan perilaku sebagian wisatawan. Padahal pengelola sudah menyediakan tempat sampah, kenapa memilih membuang di bawah pohon atau di tempat lainnya yang tak sedap dipandang mata. Jika tidak menemukan tempah sampah, kan bisa membawanya dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun