Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Lukisan-Lukisan Hidup

23 September 2016   15:43 Diperbarui: 23 September 2016   16:35 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banner Horor dari Fiksiana

Aku bukan orang yang suka menyimpan rahasia. Tapi ada sebuah kisah yang hanya kubagi bersama kakak laki-lakiku. Kakakku ternyata juga mengalami hal yang sama dan kisah itu terbawa hingga kami dewasa.

Ya, itu hanya cungkilan masa lalu. Ketika aku masih taman kanak-kanak.

Ingatan anak kecil itu rupanya kuat. Aku masih ingat penggalan kisah yang membawaku ke rumah tersebut.

Selepas menghadiri acara resepsi pernikahan di Blitar, ayah bersama kawannya melajukan kendaraannya ke sebuah rumah. Rumah itu terletak di sebuah desa yang sepi. Rumahnya berhalaman luas dan sepertinya juga memiliki kebun di belakang rumah. Di samping rumah itu juga ada rumah lain yang tampaknya tak berpenghuni.

Ayah mengajak kami memasuki rumah tersebut. Ayah nampaknya tak asing dengan rumah tersebut sedangkan Ibu nampak sedikit masgul. Sementara kami bertiga mengikuti mereka dengan riang. Wah halaman yang luas, pasti asyik untuk berlarian.

Ada seseorang yang berlari menyambut kami, kemudian membukakan pintu tersebut. Ayah bersalaman dengan orang tersebut dan tertawa-tawa. Ia, ayah dan kawan ayah kemudian asyik mengobrol. Sementara aku dan kedua kakakku mengikuti ibu menuju sebuah kamar yang cukup besar. Ibu tahu kami bertiga kelelahan setelah menempuh perjalanan dari Malang ke Blitar. Kami bisa tiduran sejenak melepas lelah sebelum kembali ke rumah.

Ibuku mudah sekali terlelap. Kulirik kakakku pun sudah mulai terkantuk-kantuk. Sementara aku kesulitan memejamkan mata.

Dari dulu aku tidak suka tidur dengan pintu dan jendela terbuka. Rasanya seolah ada banyak mata yang mengawasiku dari bagian yang terbuka itu.

Sulit sekali memejamkan mata meskipun rasanya aku sudah mengantuk. Pandanganku kemudian kutebarkan ke sekeliling lalu mataku terantuk pada sebuah lukisan. Sebuah lukisan karapan sapi dengan pria tinggi besar di belakang sepasang sapi tersebut. Aku lalu terhenyak dan berdebar-debar. Pria dan sapi itu melirikku, bukan mereka memandangku. Pandangannya benar-benar terarah kepadaku.

Aku tercekat dan badanku terasa kaku. Mungkin aku hanya berkhayal. Lukisan itu mungkin memang dibuat dengan mata sapi dan pria itu menghadap ke arahku. Tapi mengapa aku begitu ketakutan.

Aku coba memejamkan mata. Aku raih lengan kakakku yang tidur di dekatku. Aku berpura-pura tidur.

Entah berapa lama aku berpura-pura memejamkan mata. Aku mendengar suara Ibu dan kakak perempuanku. Keduanya sepertinya sudah bangun. Aku merasa lega dan kemudian berpura-pura bangun. Aku duduk di atas kasur itu sambil mencari jam dinding.

Uuppsss pandanganku kembali tertuju ke lukisan itu. Astaga mata itu, mata kedua sapi dan pria itu bergeser. Dan lagi-lagi mengarah langsung ke mataku. Pandangan mereka seolah menyelidik, mungkin bertanya-tanya siapa aku dan keluargaku.

Aku masih menggigil ketakutan tapi aku malu bercerita ke ibu. Mungkin ibu akan berkata itu hanya khayalanku.

Aku beranjak dari kamar. Lalu aku melihat kakak laki-lakiku nampak memandangi lukisan itu. Kakakku hanya berjarak dua tahun dari aku. Ia suka sekali berbuat iseng dan aku bertanya-tanya jangan-jangan ia yang menakut-nakuti dengan lukisan itu. Aku sendiri tidak ingat apakah kakak laki-lakiku itu ikut tidur bersama kami.

Ia berjingkat dan kemudian posisinya berada di sudut bagian bawah lukisan tersebut. Mulutnya terbuka, ia nampak terkejut. Lalu kemudian ia bergeser ke tengah dan lagi-lagi nampak terheran-heran. Ia lalu berlari menjauh dari lorong tersebut menuju halaman depan.

"Mas...tunggu!" Aku berlari di belakangnya. Aku ingin tahu apa yang ia lihat.

Kakakku berhenti dan berbalik menghadapku. Wajahnya sudah berubah menjadi ceria dan jahil seperti biasanya. Aku jadi ragu untuk bertanya.

Ia mengajakku berkeliling rumah. Rumah ini cukup besar dan tua. Aku merasa tidak enak. Kami kemudian menuju kebun belakang. Sunyi dan rasanya begitu hening. Lalu aku melihat rumah yang posisinya tak jauh dari rumah besar ini. Ada sumur di dekat rumah tersebut lalu aku melihat ada seorang kakek duduk di atas kursi goyang. Siapa kakek itu? Aku kembali merasa berdebar lalu menggandeng kakakku. Kakakku nampak keheranan dan menggodaku. Tapi aku ngotot untuk mengajaknya masuk rumah.

Lagi-lagi mas Febri asyik memandangi lukisan itu. Aku tidak suka lukisan itu, aku juga benci dengan rumah ini. Aku ingin segera pulang.

Aku bernafas lega ketika ayahku akhirnya mengajak kami bersiap. Ibu menyeka wajahku agar segar. Dan kakak laki-lakiku masih asyik berdiri di lorong memandangi lukisan karapan sapi tersebut.

Ketika kami masuk jeep, aku masih sempat memandang rumah tersebut dan rumah di sebelahnya. Kakek di kursi goyang itu masih ada. Wajahnya tak terlihat jelas. Aku baru hendak bertanya ke Ibu siapa kakek tersebut tapi kakek itu sudah menghilang hanya kursi goyangnya masih berayun-ayun lemah.

Beberapa hari kemudian aku baru bertanya ke kakakku. "Mas suka banget lukisan karapan sapi ya? Lihatin melulu".

Kakakku heran mendengar pertanyaanku. Ia menggeleng. "Enggak gitu Wi. Lukisan itu aneh!" ia berkata ragu-ragu. "Lukisan itu seolah-olah hidup!"

Ah kami berdua berpandangan dan aku mengangguk. Kakakku kemudian tahu aku juga merasakan hal yang sama. "Matanya bergerak-gerak ya, Mas?" Ia mengangguk. Aku bergidik. "Lukisan seram dan rumahnya pun seram. Kakek di sebelah rumah juga seram..."
"Kakek?" kakakku kebingungan. Ia merasa tak melihat ada orang lagi selain kami, termasuk di sebelah rumah. Aku dag dig dug jangan-jangan yang kulihat hantu.

Kami berdua merahasiakan peristiwa itu. Tapi kami jadi selektif dengan lukisan. Hal yang sulit, karena ayahku gemar sekali mengoleksi lukisan. Ada lukisan besar tentang Arjuna dan Khrisna di Baratayudha terpajang di ruang tamu. Aku baik-baik saja melihatnya dan menganggap lukisan itu sangat epik, aku seolah terbawa suasana mengerikan peperangan. Lalu ayah membawa ke rumah lukisan Nyai Roro Kidul. Konon lukisan itu dibuat melalui perjumpaan langsung dengan penguasa laut selatan tersebut. Aku merasa tidak nyaman setiap kali memandangnya. Dan lagi-lagi sebuah lukisan yang menyesakkan ada di rumah. Sebuah gambar tentang kapal yang terdampar di pantai yang sunyi. Sungguh memandang gambar tersebut seolah menyedot energi.

Melihat lukisan-lukisan koleksi ayahku membuatku teringat lukisan karapan sapi dan rumah menyeramkan tersebut. Kisah tentang rumah tersebut kemudian kuketahui dari Ibu. Ia pernah tinggal di rumah itu pada masa-masa awal menikah dengan ayah. Saat itu ayah masih sering bertugas di luar kota dan jarang pulang. Ia sering merasa kesepian karena lingkungan itu sepi dan baru merasa tenang ketika kakak perempuanku lahir.

Ia tidak pernah suka dengan rumah itu. Sudah beberapa kali ia mendapat gangguan di rumah tersebut dan sering merasa was-was setelah matahari terbenam. Kakak perempuanku juga pernah menangis ketakutan saat bermain di kebun belakang, tapi sepertinya ia telah lupa dengan kejadian tersebut. Ketika ayah mengajak beristirahat di rumah itu, ibuku merasa keluh tapi ia enggan berdebat karena lelah.

Aku berpandangan dengan kakak laki-lakiku. Ia berkesimpulan rumah itu sudah horor dari dulu.

"Ma, kalau kakek yang di sebelah itu siapa?"

Ibu nampak terkejut dengan pertanyaanku. Pemilik rumah itu memang ada di sebelah rumah. Ia seorang kakek yang penyendiri. Tapi ia sudah sangat tua ketika ibuku tinggal di sana dan sudah meninggal beberapa tahun setelah ibuku pindah dari rumah tersebut.

"Kamu benar-benar melihatnya?" Ibuku nampak sangsi. Aku mengangguk. Seolah-olah berbicara sendiri, ia berkata lirih. "Ia dukun."

Rumah hantu dan lukisan misterius itu sudah kulupakan. Namun masih ada lukisan Nyai Roro Kidul itu. Aku berkata ke ibuku aku tidak nyaman melihat lukisan itu. Setelah berembuk dengan ayahku, lukisan itu dipindah ke sebelah ruangan, di garasi yang merangkap ruang kerja ayah. Setiap aku terjaga, aku merasa ada sesuatu seperti ada langkah kaki di garasi dan ruang tamu itu.

Kakak perempuanku rupanya merasakan hal serupa. Ia membujuk ayahku memindahkan lukisan itu di loteng. Percayalah memang ada sebuah lukisan yang hidup. Ketika aku mengerjakan tugas-tugas sekolahku hingga malam di loteng, aku merasa ada yang melangkah mendekatiku. Aku sendirian di loteng. Aku merasa mulai sesak nafas. Lalu bergegas menyimpan tugasku di disket, mematikan komputer dan lari menuruni tangga. Ibuku dan ayahku kesal melihatku berlari seperti itu. Ibu tahu aku ketakutan, tapi ia diam saja.

Aku tidak pernah lagi belajar hingga malam di loteng sendirian. Setiap malam aku dan kakak perempuanku mendengar seperti ada langkah kaki orang di loteng. Ibu menentramkanku dan berkata itu tikus-tikus nakal, meskipun ia seolah tidak yakin.

Setelah lulus SMA aku berpindah ke Surabaya. Ketika pulang ke rumah aku jarang menuju loteng. Suatu ketika kawan-kawanku singgah ke rumahku sebelum melanjutkan perjalanan ke Batu. Mereka pun kemudian sholat di loteng. Ketika mereka pergi, salah satu kawanku, Hardi, menghampiriku.

"Wah lotengmu meriah ya. Ada dayang-dayang cantik yang kutemui tadi!" sambil mengedipkan mata ke arahku.

Astaga!!! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun