Mohon tunggu...
Sridewanto Pinuji
Sridewanto Pinuji Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Blog

Penulis untuk topik kebencanaan dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagaimana Korea Selatan Melandaikan Kurva Infeksi Covid-19?

24 Maret 2020   09:35 Diperbarui: 24 Maret 2020   09:37 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan dari Max Fisher dan Choe Sang Hun di The New York Times pada 23 Maret, mengungkapkan cara Korea Selatan (Korsel) melandaikan kurva infeksi Covid-19. 

Jumlah infeksi Covid-19 di Korsel bisa ditekan tanpa melakukan upaya karantina wilayah (lockdown) yang merugikan perekonomian. Namun, apakah upaya ini dapat dilakukan di negara lain? Para ahli meragukannya. 

Otoritas di Korsel sendiri menyampaikan, bahwa kesuksesan negara tersebut bersifat sementara. Risiko munculnya kasus tetap ada, terutama karena pandemi Covid-19 masih terjadi di negara-negara lain. 

Upaya korsel tersebut adalah: aksi cepat, pengujian yang luas dan penelusuran kontak, serta dukungan dari warga negara. 

Pelajaran 1: Intervensi yang Cepat, sebelum Krisis Terjadi. 

Setelah diumumkan kasus pertama di akhir Januari, seminggu kemudian pejabat pemerintahan bertemu dengan beberapa perwakilan dari perusahaan obat-obatan. 

Pemerintah mendorong industri untuk mengembangkan alat tes cepat dan memproduksinya secara masal. Pemerintah akan menjamin penerbitan izin alat tes tersebut secara cepat, mengingat daruratnya keadaan yang dihadapi. 

Langkah darurat juga diambil pemerintah di Kota Daegu. Di sini, 2,5 juta orang tinggal dan wabah menyebar luas dari sebuah tempat peribadatan. 

Pengetahuan secara dini mengenai sumber penyebaran wabah tersebut sangat bermanfaat untuk langkah penanggulangan selanjutnya tanpa harus membatasi pergerakan orang. 

Korsel juga memiliki pengalaman dari wabah MERS di tahun 2015. Saat itu, virus MERS menyebabkan 38 orang meninggal dunia. 

Saat ini, berkaitan dengan Korona, sudah diketahui masa inkubasi antara lima hingga 14 hari. Dalam periode tersebut, gejala (symtoms) yang ditunjukkan ringan dan dapat dianggap flu atau demam biasa. 

Oleh sebab itu, kondisi tersebut menyebabkan masa tunda antara seminggu atau dua minggu, sebelum wabah itu benar-benar terlihat. Angka kasus yang menunjukkan puluhan sebenarnya ratusan, dan angka ratusan sejatinya ribuan. 

"Karakteristik virus dan wabah yang semacam itu menyebabkan respon tradisional seperti karantina wilayah atau isolasi menjadi kurang efektif." Kata Kim Gang-lip, Wakil Menteri Kesehatan. 

Pelajaran Kedua: Pengujian Awal, Sering, dan Aman

Korsel telah mengetes lebih banyak orang dibanding negara lain untuk virus Korona ini. Upaya ini memungkinkan mereka untuk mengisolasi dan merawat mereka yang terinfeksi secara cepat. 

Negara tersebut telah melakukan 300 ribu tes atau 40 kali lebih banyak dibandingkan Amerika Serikat.  

Menurut Menteri Luar Negeri, Kang Kyung-wha, "Tes sangat penting sebagai deteksi awal. Ini meminimalkan penyebaran lebih lanjut dan perawatan lebih cepat bagi mereka yang diketahui membawa virus." 

Pengujian massal juga menjadi kunci rendahnya tingkat kematian di Korsel. 

Pengujian atau tes dilakukan dengan membuka 600 pusat tes untuk menjaring sebanyak mungkin orang dan secepat mungkin. Pada saat yang sama, petugas kesehatan yang melakukan tes dijaga kesehatannya. 

Di 50 fasilitas tes langsung jalan (drive through), pasien dites tanpa keluar dari mobilnya. Mereka diberi kuesioner, pengukuran suhu tubuh jarak jauh, dan pengambilan sampel (secara swab) di tenggorokan. 

Seluruh proses tersebut memakan waktu sekitar 10 menit dan hasilnya dapat diketahui dalam beberapa jam. 

Di tempat lain, pasien memasuki ruangan seperti kotak telepon umum. Di sini, petugas kesehatan mengambil sampel dengan memakai sarung tangan karet tebal yang dipasang di dinding ruangan. 

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut, pesan-pesan ke masyarakat juga dilakukan terus menerus agar warga melakukan tes jika mereka atau orang lain menunjukkan gejala. 

Sementara itu, untuk pendatang dari luar negeri diminta mengunduh dan memasang aplikasi di telepon pintar untuk melakukan tes mandiri terhadap gejala. 

Upaya sama juga dilakukan di hotel dan gedung-gedung besar yang menggunakan kamera suhu (thermal) untuk mengetahui orang yang demam. Hal ini juga dilakukan oleh restoran kepada pelanggan, sebelum mereka memasuki ruang-ruang restoran. 

Pelajaran 3: Penelusuran Kontak, Isolasi, dan Pengawasan

Dari tes yang masif dan saat seseorang positif, maka para pekerja kesehatan melakukan penelusuran pergerakan terakhir orang tersebut. Selanjutnya melakukan pengujian atau tes dan jika perlu melakukan isolasi siapa saja yang pernah bertemu dengan pasien. Serangkaian proses ini dinamakan penelusuran kontak (contact tracing). 

Proses penelusuran tersebut memungkinkan petugas untuk mengidentifikasi jejaring dan penyebaran virus secara cepat, kemudian mengeluarkan mereka yang positif dari komunitas lebih luas. 

Korsel telah mengembangkan perangkat dan praktek untuk penelusuran kontak saat virus MERS merebak beberapa waktu lalu. Petugas akan menelusuri pergerakan pasien menggunakan kamera pemantau (CCTV), rekaman kartu kredit, hingga data GPS dari kendaraan atau telepon pintar. 

Keseluruhan proses tersebut seperti seorang detektif yang menyelidiki kasus. 

Dari sisi kebijakan dan peraturan, Korsel juga menempatkan keamanan dan kesehatan bersama di atas privasi individu, seperti saat terjadinya krisis karena penyebaran wabah penyakit.

Saat wabah menyebar begitu masif, maka pemerintah juga mendayagunakan pesan massal. Telepon genggam warga akan terus berdering atau bergetar dengan pesan darurat saat ada kasus baru ditemukan di daerah mereka. 

Di Website dan Aplikasi juga menyajikan secara detail jam per jam, bahkan menit ke menit, linimasa pergerakan seseorang yang terinfeksi. Informasi seperti jalur bus yang diambil, di mana, dan kapan orang tersebut naik atau turun, dan apakah dia mengenakan masker menjadi informasi yang disajikan. 

Orang yang merasa dirinya mengalami kontak dengan pasien disarankan untuk melapor dan segera melakukan tes di pusat-pusat tes. 

Upaya ini hanya berhasil manakala warga menerima hilangnya privasi individu. Sebab, mereka yang menerima perintah untuk melakukan karantina mandiri harus mengunduh dan memasang aplikasi lainnya. 

Aplikasi khusus bagi mereka yang melakukan karantina mandiri akan memberikan peringatan kepada petugas, saat pasien meninggalkan ruang/rumah isolasinya. Kemudian bagi mereka yang melanggar peraturan isolasi akan menerima denda senilai 2500 Dollar Amerika. 

Dengan melakukan identifikasi dan merawat infeksi lebih dini, kemudian memisahkan mereka dengan gejala ringan, dan mereka yang perlu dirawat, maka Korsel mampu menjaga rumah sakit hanya untuk mereka mereka yang serius. 

Hasil akhirnya seperti kita semua ketahui, angka persentase kematian hanya sedikit di atas satu persen. Termasuk terendah di antara negara-negara di dunia. 

Pelajaran Keempat: Meminta Partisipasi Masyarakat 

Korsel pun menghadapi kekurangan tenaga medis dan alat-alat kesehatan, seperti pemindai suhu tubuh. Oleh sebab itu, semua orang harus terlibat dalam upaya mencegah pandemi. 

Wakil Menteri Kesehatan, Kim, menyadari bahwa untuk mencegah penularan perlu partisipasi publik. Caranya dengan menyampaikan informasi secara terbuka kepada masyarakat dan meminta partisipasi mereka. 

Upaya tersebut dilakukan melalui siaran televisi, pengumuman di stasiun-stasiun kereta, notifikasi di telepon pintar agar masyarakat mengenakan masker bagi yang sakit, menjaga jarak, dan informasi lainnya. 

Pesan-pesan yang disampaikan memicu kesadaran bersama dan mendorong semua pihak untuk mencapai tujuan bersama. Survei menunjukkan persetujuan masyarakat terhadap upaya pemerintah, kepercayaan warga tinggi, dan mencegah penimbunan. 

Kepercayaan warga yang tinggi kepada pemerintah sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, mendorong kerjasama secara sukarela, dan meningkatkan upaya bersama. 

Segala upaya tersebut juga didukung oleh sistem kesehatan nasional yang menjamin perawatan bagi mereka yang membutuhkan, perlakuan khusus terkait biaya untuk kasus Korona, dan bahkan memberikan insentif cukup besar kepada mereka yang tanpa gejala untuk melakukan tes.

Pertanyaan selanjutnya, apakah penanganan Korona model Korsel dapat diterapkan di negara lain? 

Para ahli berpendapat ada tiga tantangan yang dihadapi negara-negara di dunia untuk menerapkan model penanganan Korsel. Di antara ketiganya, tak ada satu pun yang berkaitan dengan teknologi dan biaya. 

Pertama adalah kemauan politik. Banyak negara enggan menerapkan langkah-langkah sulit tanpa adanya bukti kuat penyebaran wabah yang dapat dianggap sebagai krisis. Oleh sebab itu, banyak negara yang terlambat bertindak. 

Kedua adalah kemauan masyarakat. Kepercayaan sosial dan kepada pemerintah di Korsel lebih tinggi daripada di banyak negara lain. Terutama di negara barat dan negara-negara lain yang terpecah karena polarisasi politik dan populisme. 

Ketiga, seperti halnya dalam berbagai krisis kemanusiaan lain karena bencana dan perang, dalam menghadapi wabah ini pun, kita berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi penderitaan sesama. 

Semoga kita belum terlalu terlambat untuk mengikuti langkah Korsel yang mampu secara cepat dan efektif mengatasi pandemi Covid-19. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun