Mohon tunggu...
Sridewanto Pinuji
Sridewanto Pinuji Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Blog

Penulis untuk topik kebencanaan dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Endgame dan Mitigasi Bencana

30 April 2019   20:41 Diperbarui: 30 April 2019   20:51 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini, pecinta film di seluruh dunia sedang tergila-gila dengan Avengers Endgame. Menurut situs Techcrunch, film ini berhasil menembus keuntungan satu miliar dollar hanya dalam jangka waktu lima hari setelah penayangan perdana. 

Kenapa Marvel Cinematic Universe (MCU) melalui serangkaian film Avengers begitu disukai orang? Menurut mic.com, ada tiga hal yang menyebabkan orang-orang menyukai film tentang superhero. 

Pertama adalah alasan psikologis, dengan menonton film superhero, orang dapat lari dari kenyataan dan melupakan masalah sehari-hari. Menjadi Superhero yang keren, ganteng atau cantik, baik hati, dan senang menolong juga menjadi sosok yang diidamkan setiap orang. 

Alasan kedua adalah karena film semacam Endgame menggunakan pendekatan yang berbeda, disesuaikan dengan situasi yang dialami penontonnya. Misalnya, film-film dari Marvel menggunakan teknologi terkini yang spektakuler, melibatkan lebih banyak tokoh perempuan, hingga mengurangi adegan seronok dan kejam, sehingga dapat ditonton semua golongan usia, termasuk anak-anak. 

Alasan ketiga adalah karena gabungan dari kedua faktor di atas dan kenyataan bahwa fantasi mengenai Superhero sudah terbentuk sejak kanak-kanak. Orang begitu terikat sekaligus terpikat dengan tokoh-tokoh semacam Ironman atau Captain America. Dengan demikian, film sejenis ini memenuhi selera semua orang, sehingga berbondong-bondonglah para penonton ke bioskop. 

Kehilangan dalam Endgame

Kendati film Superhero memikat banyak orang, ada pelajaran lain dalam seri terakhir dari MCU bertajuk Endgame ini. Katherine Cox, calon Doktor di Australian National University menjelaskan panjang lebar di artikelnya yang dimuat Canberra Times. 

Katherine berpendapat, bahwa Endgame mengajak para penontonnya untuk merasakan kembali arti kehilangan. Lebih lanjut, film ini berkelindan dengan kenyataan masa kini yang justru sering diingkari manusia, yaitu bahwa kerusakan bumi sudah mencapai titik yang sulit untuk diperbaiki dan manusia hanya bisa bersedih serta meratapi kehilangan. 

Di serangkaian film Avengers sebelumnya, Superhero selalu datang terlambat untuk mengalahkan musuh. Namun, kedatangan mereka tak mampu mengubah kenyataan bahwa kerusakan telah terjadi dan upaya maksimal yang dapat dilakukan hanyalah dengan mencegah kerusakan lebih lanjut. 

Di Endgame pun demikian, para Superhero harus berjuang untuk mengatasi dan menerima kegagalan mereka untuk mencegah Thanos, Sang Penjahat Galaksi yang melakukan pemusnahan massal setengah dari penduduk alam semesta. Kita dapat menyaksikan bagaimana Tony Stark yang kehilangan harapan karena kapal antar galaksi yang ditumpanginya mengalami gangguan. 

Selain itu, para Superhero yang masih hidup, seperti Captain America, Black Widow, Hulk, dan Thor pun seperti kebingungan menjalani hari-hari mereka setelah kekalahan dahsyat dan harus menyaksikan teman-temannya menjadi abu dalam film sebelumnya, Infinity War. 

Kondisi ini berlangsung terus, hingga datanglah petunjuk dari Scott Lang atau Ant Man yang kemudian mengubah jalannya cerita. Para Superhero itu pun mengubah kehilangan, dukacita, dan kesedihan menjadi sebuah semangat serta senjata untuk melawan Thanos. 

Mitigasi Bencana

Ada satu adegan dalam Endgame yang tak hendak hilang dari benak saya. Saat itu Scott Lang kembali dari Dunia Kuantum, dia menemukan bahwa lingkungan tempat tinggalnya telah berubah. Dia hanya menemukan kesunyian, bangunan yang rusak dan ditinggalkan, sehingga kebingungan begitu kentara di wajahnya. 

Di Indonesia, pemandangan serupa juga kerap terjadi saat sebuah daerah dilanda bencana. Misalnya di Palu, rumah-rumah yang semula berdiri gagah digoyang gempa dan diterjang air bah. Sebagian di antara rumah itu beserta penghuninya bahkan ditelan tanah. Di sana, bencana telah mengubah wajah permukaan bumi dari daerah permukiman yang ramai menjadi dataran gersang tak berpenghuni atau reruntuhan bangunan yang rata dengan tanah. 

Dalam dunia fantasi, para Superhero menghadapi Thanos. Namun, dalam dunia nyata, kita di Indonesia hidup di daerah rawan bencana dan harus menghadapi risikonya. 

Dalam dunia fantasi, para Superhero mengubah perasaan kehilangan dan duka menjadi semangat untuk melawan Thanos. Dalam dunia nyata di Indonesia, bisakah kita mengubah perasaan kehilangan dan duka menjadi semangat untuk lebih siaga menghadapi bencana? 

Setelah terjadinya tsunami dan gempabumi di Aceh pada tahun 2004, sejatinya kesadaran akan risiko bencana mulai terbentuk. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 

Dalam Undang-Undang tersebut, muncul perubahan paradigma, dari upaya reaktif setelah bencana menjadi upaya preventif yang berfokus pada upaya pencegahan atau mitigasi sebelum bencana benar-benar terjadi. 

Guna melakukan upaya mitigasi, maka beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama adalah pemahaman mengenai risiko bencana di tempat kita masing-masing. 

Kedua adalah perlu pengaturan siapa melakukan apa jika bencana terjadi. Langkah ketiga adalah dengan melakukan investasi untuk pencegahan, misalnya pembangunan waduk di bagian hulu untuk menahan air agar di bagian hilir tidak banjir. Langkah terakhir adalah dengan melakukan latihan atau simulasi agar siap siaga jika bencana benar-benar terjadi dan mampu melakukan pembangunan kembali pascabencana dengan lebih baik. 

Seperti para Superhero di fantasi Endgame yang mengubah rasa kehilangan menjadi semangat untuk melawan Thanos. Dalam dunia nyata, risiko bencana dapat mengancam setiap kita dan tak jarang juga menyebabkan kehilangan. Namun, kita tidak boleh hanya berpangku tangan dan menjadi korban. Sebab, setiap kita dapat menjadi Superhero dan melakukan upaya pencegahan, mitigasi, dan pengurangan risiko bencana mulai dari rumah dan lingkungan kita sendiri. Dengan begitu, korban, kerugian, kerusakan, dan juga kehilangan dapat dihindari atau minimal dikurangi. 

Sebagai penutup, saya ingin mengutip paragraf terakhir dari tulisan Katherine dengan sedikit perubahan. Seperti yang terjadi dalam dunia fantasi Endgame, maka dunia nyata pun ke depan tak lagi sama. Hal ini menuntut kita untuk berubah dan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk kejadian bencana. 

Sebuah luka yang dalam karena kehilangan akan meninggalkan bekas luka yang dalam pula. Namun, kita dapat hidup dengan bekas luka tersebut. Ini sejatinya pesan dari Endgame, menerima kehilangan, kembali bersatu, dan pantang menyerah. Hingga setiap malam kita dapat mengecup kening anak-anak kita dan berkata, "I love you 3.000 times...."

Sridewanto Pinuji
Alumni Crawford School of Public Policy
The Australian National University

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun