Mohon tunggu...
I Dewa Ayu Puspadewi
I Dewa Ayu Puspadewi Mohon Tunggu... Lainnya - Puspadewi

Denpasar, Bali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dekadensi dan Hiperrealitas dalam Media Sosial

23 Mei 2021   13:01 Diperbarui: 24 Mei 2021   16:00 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggunakan media sosial(Sumber: galeri foto pribadi)

Sayangnya, dibalik yang terlihat oleh khalayak dalam media ternyata merupakan settingan, bahkan bisa saja tidak sesuai dengan realitas nyatanya.

Ketakutan yang mungkin hadir pada manusia di zaman sekarang ialah ketakuan tidak diakui dalam lingkungannya, seperti tidak dipandang kekinian atau menampilkan citra diri sesuai yang diingankan. 

Akhirnya, tidak jarang juga kita melihat teman-teman menggunakan media sosial untuk menunjang kebutuhan tersebut. Terlalu banyak kebutuhan yang tidak dapat penulis amati, sekiranya satu hal yang ingin penulis deksripsikan mengenai kebutuhan aktualisasi diri. 

Abraham Maslow seorang teoretikus menggambarkan mengenai hierarki kebutuhan manusia dengan menempatkan kebutuhan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tertinggi. Sebelum tercapainya kebutuhan tertinggi, maka ada kebutuhan mendasar lain dibawahnya yang perlu dipenuhi oleh manusia meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, dan penghargaan.

Paket lengkapnya kalau melihat dalam interaksi manusia sekarang, ialah pada media sosial. Untuk dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, seseorang dapat mengemas di media sosial mereka. Jika ingin melihat, terkadang terdapat sebagian individu memperhitungkan jumlah like dan followers di media sosialnya untuk mengukur seberapa eksis dirinya. 

Kalau bahas selebgram, tentu itu adalah hal penting karena media digunakan untuk karir mereka. Tetapi jika melihat jumlah like dan followers untuk melakukan pengukuran terhadap seberapa dekat atau mengenalnya seseorang dengan orang lain, inilah interaksi masa kini yang dapat menjadikan orang terjebak dalam dunia maya berhari-hari.

Sebelum makan unggah foto, sedang galau bercerita dengan media sosial, mau memulai kegiatan buat status, sedang jalan mengunggah video bahkan setiap hitungan menit. 

Contoh tersebut merupakan candu yang dimiliki seseorang akibat sulit lepas dengan media sosialnya. Hingga segala hal yang rasanya cukup privasi sengaja disebarluaskan ke publik. 

Ada perasaan cemas ketika tidak mendapatkan komentar, tidak mengunggah sesuatu tentang diri, dan terputus koneksi dengan lingkungan sekeliling. Sangat berbeda ketika dahulu seseorang belum mengenal media sosial yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia nyata dengan duduk bersama, bercerita, dan meletakan privasi dengan orang yang tepat.

Ketika mengunggah sesuatu lalu mendapat respon sedikit berdasarkan jumlah like dan komentar akan menciptakan pandangan pribadi bahwa diri kurang dihargai, memiliki ekspektasi berlebih terhadap tidak diakuinya diri menunjukan media sosial mungkin telah berhasil mengubah perilaku dan interaksi manusia kini. 

Kalimat sesama pengguna medsos yang sering terdengar, "jangan lupa like/mention!" menunjukan pentingnya kehadiran tidak hanya nyata, tetapi juga diketahui khalayak lebih luas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun