Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Sini Aku Kembali dan Mengabdi

29 Oktober 2011   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:19 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="from google"][/caption]

Akhirnya aku kembali melangkahkan kakiku di desa ini, desa yang selalu hadirkan rindu sekaligus kesejukan dalam hatiku. Desa yang memberiku rasa aman saat aku melarikan diri dari ibu tiriku setahun lalu. Ya, setahun sudah aku berada di Desa Rangkat, tapi rasanya seperti baru kemarin berada disini. Masih segar dalam ingatanku saat pertama kali dibawa kerumah pak Kades untuk meminta izin tinggal, dan seorang hansip tampan yang membimbingku. Belum lagi kebaikan dan keramahan keluarga besar pak Kades dan juga warganya, terutama jeng Pemi yang mau menampungku di rumahnya hingga saat ini.

Jeng Pemi, entah sudah berapa lama dia meninggalkan rumah, sibuk belajar menanam jagung pada salah seorang keluarganya di desa tetangga yang terletak di balik bukit. Para pelanggan pijetnya tak terhitung yang menanyakan dirinya, terlebih mas Hans. Hansip andalan desa itu entah sudah berapa kali bertanya tentang kepulangan jeng Pemi, tukang pijet handal desa kami sekaligus pujaan hatinya. Tapi sebanyak itu pula aku menggelengkan kepala, pertanda ketidak tahuanku.

Disini, aku kembali. Setelah vakum beberapa minggu karena ada keperluan yang mendadak, akhirnya aku membuka kembali pondok sehat kami. Sembari menunggu kak D-Wee yang juga sedang dalam proses pelatihan profesinya, aku memutuskan untuk membereskan ruang kerja kami.

Pondok sehat tempatku dan kak D-wee mengabdi di desa ini tidaklah terlalu besar. Sebuah ruang periksa umum ( yang dilengkapi dengan stetoskop, tensimeter, timbangan badan dan beberapa alat pendukung lainnya), ruang periksa gigi dengan peralatan (dental unit) yang semi canggih, sebuah apotek atau biasa kami sebut kamar obat, dua buah toilet, sebuah ruang tunggu sederhana dengan kursi tunggu yang belum terlalu banyak jumlahnya. Sederhana memang, tapi dengan inilah kami bekerja, dengan ruangan sederhana inilah kami memberikan pelayanan dengan cinta, demi kesehatan semua warga.

Saat aku tengah sibuk membereskan ruang periksa umum, terdengar suara ketukan pintu dari depan.

“Tok… tok… tok…” . Tiga kali pintu diketuk.

“Iya, sebentar” ucapku setelah meletakkan kemoceng ke atas meja, bergegas ke depan untuk melihat siapa gerangan yang datang. Senyum sumringah segera mengembang di bibir wanita itu, ia langsung memelukku.

Dewa… kemana aja, kangen tau” ucap Zwan yang masih memelukku erat. Akupun tak kalah eratnya memeluk sahabatku yang senang mengembara ini.

“Aku juga kangen Zwan, sama semua yang disini juga” ucapku. Zwan kemudian melepaskan pelukannya.

“Lagi beres – beres ya wa?” zwan meneliti sekeliling ruangan dari depan pintu.

“Iya neh, biar nanti kalo kak D-weesama bang Armidin dateng, kita udah bisa buka lagi” jelasku padanya.

“Kenapa, mau bantuin aku beres – beres ya?” tanyaku sambil melemparkan senyum terindahku padanya. Tentu saja berharap Zwan mau membantuku kali ini.

“Oke” jawabnya singkat. Kami berdua kemudian mulai merapikan lagi sisa ruangan yang masih belum sempat kubersihkan tadi. Sembari bersih – bersih, perbincangan diantara kami tetepa berlanjut. Zwan menceritakan tentang pengalamannya berpetualang, dari ujung barat hingga timur Indonesia pernah dijelajahinya. Ditengah perbincangan kami, tiba – tiba saja muncul sosok pria berambut ikal yang kini sudah berdiri dihadapanku.

“Ternyata beneran udah pulang ya” ucap kang Inin sambil tersenyum sumringah. Akupun tak kalah bahagianya, kusalami kang Inin, kemudian kuberikan sebuah sisir berwarna merah muda yang pernah kujanjikan padanya.

“Hatur nuhun teh” ucapnya tulus sebagai tanda terima kasihnya padaku.

“Ari the D-wee belum pulang?” Tanya kang Inin dengan logat sundanya yang kental.

“Belum kang, mungkin besok kali ya” jawabku padanya. Kang Inin hanya menggut – manggut seolah mengerti maksudku.

“Teh, ini mah saya cuma mau tanya ajah, denger dari orang – orang di pos ronda” agak takut atau entah segan, kang Inin mengucapkan itu padaku.

“Tanya apa?” Zwan balik bertanya pada kang Inin. Ditanya seperti itu, semakin menciut nyali kang Inin. Agak lama kami menunggu kang Inin membuka suara.

“Eemmm… emang bener ya, teh Dewa mau rujuk sama si Bocing” terbata – bata kang Inin mengucapkan itu. Zwan yang berdiri tepat disebelahku langsung mengalihkan pandangannya kearahku, seolah ingin bertanya ‘serius?’. ‘Aih, kenapa berita itu begitu cepat tersebar, dasar Bocing!’ runtukku dalam hati. Aku hanya tersenyum, dan mereka masih setia menunggu jawabanku.

“Kamu serius wa?” kali ini Zwan yang bertanya dengan wajahnya yang serius.

“Beberapa kali si Bocing emang pernah ngajak aku rujuk Zwan…” masih menggantung jawabanku. Kuteliti wajah Zwan dan kang Inin bergantian. Wajah penuh tanya, jelas terlihat dari raut mereka.

“Tapi jelas lah aku tolak, udah ada mba Asih di sisinya, tenang aku masih normal kok” jawabku pada mereka.

“Huuff… lega dengernya” ucap Zwan sambil mengelus dadanya.

“Ada hati yang harus aku jaga, ada mba Asih sekarang di sisinya bocing, dan gak mungkin aku ngerusak hubungan mereka. Selama aku masih normal, aku gak akan ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya” jelasku lagi. Senyum sumringah segera mengembang di wajah mereka.

“Berarti masih ada kesempatan buat saya ya teh?” tiba – tiba kang Inin mengucapkan itu sambil senyam senyum sendiri, agak pelan dan tak dapat terdengar dengan jelas.

Untuk saat ini, aku lebih memilih untuk mengabdikan diri pada desa ini. Memang masih belum ada yang mengisi hatiku, tapi bukan berarti aku boleh melakukan apapun untuk menempatkan seorang pria dihatiku, termasuk menjadi yang kedua. Cukuplah pengalaman dulu dengan Bocing dan Kembang. Aku juga ingin seperti wanita lain yang hanya menjadi satu – satunya wanita di hati pria yang aku cintai. Mungkin akan sulit, tapi bukan berarti tidak bisa kan?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun