Mohon tunggu...
Putu Devi
Putu Devi Mohon Tunggu... Penulis -

Ketika curahan rasa lebih indah dalam barisan kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bali, Pulau Seribu Macet?

26 Februari 2018   13:06 Diperbarui: 26 Februari 2018   13:17 2623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemacetan seakan sudah menjadi polemik bagi Bali. Di awal tahun 2018 ini, dengan semakin giatnya Pemerintah untuk memperlancar lalu lintas, justru menimbulkan 'efek samping' berupa kemacetan. Macet bahkan sudah menjadi keseharian bagi pengguna lalu lintas, apalagi saat peak hour yakni di pagi hari saat berangkat kerja/sekolah sekitar pukul 07.00 -  08.00 dan sore hari sekitar pukul 16.00 - 17.00.

Kemacetan tidak hanya disebabkan proyek, kemacetan di Bali adalah tumpukan dari berbagai permasalahan yang kompleks. Bahkan kegiatan keagamaan menjadi salah satu faktornya. Bali yang sangat kental dengan adat dan upacara agamanya juga seringkali mengadakan upacara keagamaan. Tidak jarang, dalam pelaksanaan upacara mengambil setengah jalan untuk digunakan pemedek (umat Hindhu) bersembahyang. Hal krusial lainnya yang paling sering menyebabkan kemacetan adalah semakin seringnya alih fungsi trotoar. Trotoar yang semestinya digunakan sebagai pejalan kaki, justru menjadi tempat parkir beberapa mobil besar, terlebih jalan yang dilewati sangat sempit. Sama halnya dengan di perkotaan, macet juga terjadi di pedesaan. Bedanya, faktor utama penyebab kemacetan di pedesaan adalah medan dan kontur jalan yang dilewati oleh mobil-mobil besar dan berat terutama bus dan truk yang tidak kuat di jalan tanjakan.

Untuk apa isu ini diangkat? Kemacetan mungkin hal sepele, apalagi jika sudah menjadi kebiasaan. Solusi sederhana, ya dinikmati saja, toh kita akan sampai di tujuan, hanya saja waktunya yang molor sedikit. Begitu katanya. Tapi, Bali yang dikenal dan populer dengan daya tarik wisatanya, dimana berbagai turis dari seluruh dunia menikmati Bali, apakah kemacetan ini yang kita suguhkan untuk menyambut turis? Isu kemacetan di Bali akan sangat mudah tersebar di media massa, yang membawa dampak negatif bagi wisatawan yang akan berkunjung, bahkan dapat mengalihkan destinasi wisata mereka ke kompetitor. Hasilnya? Bali akan kembali semakin tersisih.

Lalu apa solusinya? Dari Pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan ini, salah satunya adalah dengan meluncurkan Bus Sarbagita pada tahun 2011. Walau belum menyentuh hati segenap warga Bali, Sarbagita juga kembali menarik peminat dengan menggunakan bemo pancingan yang dapat mengantarkan beberapa warga yang tidak terjangkau ke halte Bus Sarbagita. Upaya pemerintah lainnya adalah dengan menerjunkan langsung polisi-polisi lalu lintas (lalin) untuk mengatur pada jam-jam padat lalin. Proyek lainnya juga sudah mulai dikerjakan pada tahun 2013 yakni Underpass Dewa Ruci, dibarengi dengan konstruksi Tol Bali Mandara pada tahun yang sama, kemudian akhir-akhir ini diadakan proyek underpass di Simpang Tugu Bypass Ngurah Rai, serta pelebaran jalan. Pada akhirnya, solusinya selalui 'menyesuaikan' jalan dengan volume kendaraan, entah menambah atau melebarkan, bukan solusi jangka panjang.

Namun, kemacetan masih saja menjadi masalah yang belum bisa terpecahkan. Akhir-akhir ini muncul isu viral mengenai tamu Prancis yang tertinggal pesawat karena tercebak macet di bundaran tugu Ngurah Rai, walaupun jalur alternatif sudah disosialisasikan oleh pihak kepolisian, namun masih, macet tidak bisa terhindarkan. Lalu, apakah solusi terbaik dengan menambah dan melebarkan jalan? Akankah Bali selalu dipenuhi sesak dengan volume kendaraan yang tidak terkontrol? Bagaimana hal ini dapat berdampak terhadap pariwisata Bali?

Akses adalah hal yang paling fundamental bagi perkembangan industri pariwisata di Bali. Banyak negara maju yang memfokuskan kualitasnya bukan hanya pada atraksi yang disuguhkan kepada wisatawan, tetapi kemudahan aksesnya. Solusi pertama adalah memperlancar transportasi umum. Mari melirik negara negara maju yang mengandalkan transportasi umum untuk mempermudah mobilisasi, seperti Metro, Tram dan Bus. Keterlambatan pemerintah mengambil solusi ini, justru diambil alih oleh pengusaha muda yang membuka peluang bisnis berupa ojek online, serta ada pula Public Shuttle Bus yang kini beroperasi di beberapa destinasi wisata yang padat turis.

Mengenai alih fungsi trotoar, pemerintah berupaya dengan tindakan represif berupa pemberian denda. Namun sayangnya tingkat kejeraannya belum maksimal. Kenapa? karena belum ada alternatif lain untuk mengatasi masalah ini. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa parkir di pinggir jalan dengan rapi dan tidak membuat kemacetan? Apa hanya dengan menyalahkan pengguna jalan untuk tidak boleh parkir? Untuk itu, solusi kedua di sini adalah dengan pengadaan lahan parkir publik. Sudah banyak negara yang membuat parkir umum berbayar. Konsep ini tentunya bisa digunakan dan diperbanyak di Bali.

Solusi yang terakhir adalah untuk kegiatan insidental seperti upacara keagamaan, demonstrasi, atau hal-hal lain yang menggunakan sebagian jalan. Cara terbaik untuk mengatasi ini adalah sosialisasi untuk jalur alternatif jauh-jauh hari sebelumnya. Terutama melalui sosial media yang penggunanya terbanyak, sehingga warga sudah tahu lebih awal dan terhindar dari kemacetan.

Terakhir, artikel ini dibuat berdasarkan analisis dan empati saya terhadap isu ini. Tentunya, saya sangat menghargai kinerja pemerintah, saran dan opini dari saya seyogyanya dapat membantu untuk mempercepat penyelesaian isu ini. Bali sudah seharusnya meninggalkan kenangan 'mengesankan' bagi wisatawan, bukannya 'menyebalkan'. Tentunya, kita berharap solusi ini bisa segera terrealisasi, memang perlu waktu dan proses, asalkan kita mau untuk maju.

 Selama kita tidak memiliki 'kemauan' maka kita tidak akan mengalami 'kemajuan'

*Ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun