Mohon tunggu...
Devan Frisky Vizal Finanta
Devan Frisky Vizal Finanta Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Program Studi Antropologi Universitas Airlangga

An anthropology student who likes cultural things and historical Stuff. Saya memiliki concern dalam bidang kesenian dan senang mendalami mengenai perkembangan serta pengaruhnya, khususnya dalam kebudayaan Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Memaknai "Kekuwunging Diri" dalam Bedhaya Kuwung Kuwung di Era Sri Sultan Hamengkubuwono VII

29 Juni 2022   00:52 Diperbarui: 30 Juni 2022   08:20 2635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari Bedhaya Gaya Yogyakarta (Source: google)

Bedhaya Kuwung-kuwung lahir dan dipergelarkan pada masa perubahan besar pada bidang pendidikan dan ksenian di Yogyakarta pada masa kepemimpinan Sinuwun Ngabehi atau Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Masa ini juga disebut juga masa keemasan atau masa pencerahan bagi Yogyakarta saat itu. Secara harfiah dalam kamus bahasa Jawa, kata "kuwung" dapat diartikan sebagai cahaya, sorot, ataupun pelangi. Pemaknaan "kuwung" sebagai cahaya dpat dilihat dari masa pementasan bedhaya ini yang berbarengan dengan Yogyakarta mengalami era pencerahan dalam aspek pendidikan dan juga kesenian, khususnya seni tari. Dalam bidang pendidikan sendiri, di masa ini sultan membiayai para calon terpelajar dan cendekiawan untuk menimba ilmu di luar Hindia-Belanda kala itu. Sementara di bidang kesenian, dua orang putra sultan yaitu BPH Suryodiningrat dan GPH Tejokusumo diberikan izin oleh sultan untuk mendirikan sekolah seni gaya Yogyakarta yang diberi nama Kridha Beksa Wirama di luar keraton, sehingga masyarakat biasa dapat mempelajari ragam kesenian yang semula hanya ada di dalam tembok istana.

Kata "kuwung" yang dimaknai sebagai sorot dapat kita lihat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII sendiri. Di masa itu sang sultan berhasil meregenerasi dan merevitalisasi Yogyakarta menjadi lebih baik. Nama sang sultan menjadi cukup diagungkan oleh masyarakatnya dan pada momen itu juga Bedhaya Kuwung Kuwung menjadi simbolisasi dari sorotan keberhasilan beliau dalam membangun Yogyakarta. Sementara pemaknaannya sebagai pelangi atau suatu hal yang indah adalah karena dalam Bedhaya Kuwung Kuwung ini terdapat banyak sekali perpaduan antara kebudayaan keraton yang notabennya kental akan tradisi Jawa-nya dengan kebudayaan Barat. Hal ini terlihat dari busana dan tata rias yang dipergunakan tidak lagi menggunakan busana kampuhan ataupun mekak namun menggunakan busana rompi beludru berwarna dengan bordir sulam emas, jamang, dan perhiasan emas dengan hiasan bulu kasuari, namun masih menggunakan kain seredan batik motif parang dan berproperti keris.

Rekonstruksi Bedhaya Kuwung Kuwung oleh Taman Budaya Yogyakarta Pada Tahun 2005 Silam
Rekonstruksi Bedhaya Kuwung Kuwung oleh Taman Budaya Yogyakarta Pada Tahun 2005 Silam

Kekuwunging Diri, Simbol Atas Pengendalian Diri

Setelah membahas mengenai pengertian singkat dan juga sejarah dari tari Bedhaya Kuwung Kuwung ini, sekarang yang akan dibahas adalah mengenai konsep "Kekuwunging Diri" atau cahaya diri. Dalam konsep ini, hal yang dituju adalah mendapatkan suatu pencerahan ataupun visi dari ilham manusia mengenai kehidupan.  Konsep Kekuwunging Diri tidak jauh berbeda dari konsep "Ngening" yang sudah dibahas di atas. Dalam kedua konsep ini, yang berperan adalah hati manusia yang dapat mengeendalikan diri dari segala macam godaan nafsu yang sumbernya juga merupakan dari manusia itu sendiri yaitu Babahan Howo Songo. Konsep Babahan Howo Songo apabila sedijabarkan maka akan seperti demikian:

Pada diri manusia terdapat 9 lubang. Dari lubang-lubang tersebut kita sering berbuat aniaya terhadap diri sendiri sehingga menjadikan diri kita menjadi gelap dan pancaran diri kita tertutup oleh hal tersebut. Jika kita terlalu memanjakan kesembilan lubang tadi, maka kita akan jauh dari budi luhur dan kehilangan pancaran dari dalam diri kita, serta menjadi manusia yang buruk perangainya.

Dua lubang telinga itu selayaknya mendengarkan kata-kata yang baik. Bukannya mendengar hal-hal buruk seperti menggunjing dan mencari bahan untuk bergunjing. Dengan mengarahkan pendengaran kita pada kata-kata yang tidak baik, dapat dengan mudah menyulut nafsu kita untuk menyimpang dari kebaikan. Dari mendengar kata-kata yang jelek, kita bisa marah, dan dari amarah inilah akan muncul rasa dendam.

Dua lubang mata, seharusnya digunakan untuk melihat hal-hal yang baik dan senantiasa menggunakannya untuk mencari jalan berbuat kebajikan. Umpamanya mata kita dipergunakan untuk melihat hal-hal yang tidak senonoh ataupun kurang pantas, maka hawa nafsu jahat-pun akan muncul dan lambat laun membuat diri kita menjadi gelap hati.

Dua lubang hidung, gunakan untuk bernafas dan membaui harum-haruman. Tetapi bila nafas kita tidak berlandaskan kesadaran kepada tuhan, artinya udara yang masuk ke dalam badan kita bukanlah udara syukur. Jadi bernafas dengan menjaga syukur, agar udara itu manfaat untuk kerja badan kita. Perlu diingat juga bahwa membaui harum-haruman, dan bau sedap lain seperti aroma makanan juga tidak boleh, karena hal tersebut dapat membuat kita hanya terus menerus memanjakan diri kita.

Lubang mulut. di dalamnya terdapat lisan yang digunakan untuk berkata yang baik-baik. Bukan untuk mencaci, memfitnah. Sebagian besar manusia kehilangan kehormatannya karena berkata sembarangan. Karena lisan yang buruk pula, pertemanan ataupun persaudaraan juga bisa hancur. Mulut Juga digunakan untuk memasukkan obat dan juga makanan. Tetapi jika terlalu banyak makan, kurang baik dan manusia yang tidak dapat menahannya kemungkinan akan menjadi tamak.

Lubang kemaluan. Di sana terletak kenikmatan syahwat yang dapat menggiring manusia ke perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dan dapat merugikan serta menjadi penyakit bagi manusia itu sendiri. 

Lubang dubur.Lubang dubur masih memiliki hubungan dengan lubang mulut, apabila seorang manusia menjadi tamak dan rakus, dia tidak dapat mengendalikan keinginan untuk mengisi perutnya, maka secara tidak langsung lubang pembuangan ini akan mengganggu aktivitas manusia dansangat mungkin mengganggu ibadah.


Jadi, dengan dapat mengendalikan kesembilan lubang tersebut, manusia dapat mendapatkan budi yang luhur dan juga cahaya atas dirinya. Cahaya inilah yang nantinya dapat menjadi penerang manusia dalam berbuat kebajikan dan kebajikan inilah yang menuntun manusia mencapai kebahagiaan yang hakiki.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun