Mohon tunggu...
Devi Yuliantari Mercury
Devi Yuliantari Mercury Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pemijak Bumi

Mencuri oksigen tiap harinya sejak dilahirkan pada tahun '99.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lakon "Jaring Sampan": Jaring yang Tak Lagi Menjaring Ikan

1 Desember 2019   15:29 Diperbarui: 1 Desember 2019   15:36 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu tanggal 28 November 2019 tepat pada pukul 18.40 WIB saya dan kakak saya, Yeyen, tiba di Taman Ismail Marzuki. Poster-poster dengan tulisan "Drama Penonton" terpajang di sekitar wilayah Taman Ismail Marzuki hingga photobooth yang diletakkan di dalam gedung. "Drama Penonton" sendiri adalah tajuk dari Festival Teater Jakarta 2019 yang menyelenggarakan lomba pementasan drama setiap tahunnya untuk komunitas-komunitas teater kalangan generasi muda di Jakarta. Setelah menukar tiket di meja registrasi dan pintu teater di buka, saya langsung berbaris dan ikut mengantre. Sebelum masuk, tiap orang diberi satu kacamata 3 dimension vision dan satu sampah yang dibungkus plastik berwarna-warni. Sampah ini nantinya akan dilempar ke depan panggung sebelum pementasan drama dimulai.

Setelah semua penonton telah mendapat kursinya masing-masing dan suasana mulai kondusif, lampu teater perlahan redup menjadi gelap. Lalu sebuah video dokumenter dengan efek 3 dimension dimainkan. Video ini menayangkan bagaimana Kepulauan Seribu dan Pulau Untung Jawa tampak ketika masih asri dan terjaga hingga pada saat ini ketika sudah banyak sampah yang berserakan, di laut maupun di bibir pantai. Selama pemutaran video inilah kacamata 3 dimension vision yang tadi diberikan dapat digunakan. Video selesai, sinopsis dibacakan, lalu tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu, yaitu pementasan drama itu sendiri. Layar perlahan naik ke atas, menampakkan latar panggung yang dihiasi dengan ratusan sandal-sandal bekas dan sebuah sampan yang menggantung. Kata-kata takjub spontan meluncur dari lisan saya.

Dan dimulailah pementasan drama dengan judul "Jaring Sampan" ini.

Memancing Asa

Drama ini dimulai dengan adegan ikan-ikan dan fauna laut lainnya yang berenang dengan bebas dan berkerumun begitu banyak yang diperankan oleh sekitar 20 pemain junior. Latar suara di kedalaman laut yang tenang berganti dengan suara bising dan sampah-sampah mulai berjatuhan dari atas. Seiring dengan banyaknya sampah yang mulai berjatuhan, ikan-ikan mulai menghilang, keluar dari panggung. Adegan pembuka inilah yang menghubungkan kita pada keseluruhan cerita. Tentang bagaimana manusia merusak ekosistem laut dan krisis kepedulian manusia akan kebersihan itu sendiri.

Di darat, delapan nelayan yang diperankan oleh Arfan Setiawan, Tohirullah, Ahmad Bustomi, Maliq Abdul Adzil, Bangkit Sanjaya, Akbar Fakhrizal, Satrio, dan Sammy datang ke pinggir laut, siap untuk memancing lengkap dengan joran yang menjulang dan sebuah ember. Kedelapannya berlari ke sudut yang berbeda, tetapi tetap bersebelahan satu sama lain, lalu mulai memancing. Pada awalnya, mereka mendapat ikan di tempatnya masing-masing hingga akhirnya mengerucut menjadi satu tempat beramai-ramai hingga berebut untuk memancing di satu tempat. Di belakang mereka, berjalan seorang yang tua renta bernama Kong Untung dengan membawa pengki, sapu dan keranjang sampah. Kong Untung menyapu dan membersihkan sampah-sampah yang berserakan, sedangkan sampah plastik itu tiada henti berjatuhan dari atas.

Di saat yang sama ketika Arfan dkk. ribut memancing, empat istri dari empat nelayan itu datang. Empat istri yang dimainkan oleh Siti Ainun, Vira Sintia, Susan, dan Indah ini datang dengan emosi yang memuncak, marah-marah karena suami yang harusnya mendahulukan kepentingan utama justru lebih memilih menghabiskan waktunya untuk memancing ikan. Terbukti dari dialog yang diucapkan oleh Ainun yang protes akan hidupnya yang begitu-begitu saja, sedangkan hidup orang lain sudah jauh lebih makmur darinya.

Di adegan lainnya, lima orang anak laki-laki menemukan pancingan yang ditinggal oleh Arfan dkk. sebelumnya, akan tetapi hasil tangkapan anak-anak tersebut bukanlah ikan seperti yang dipancing oleh nelayan, melainkan barang seperti radio dan kaus. Menurut saya, adegan ini merepresentasikan jika laut tidak segera dijaga kelestariannya dari sampah-sampah, generasi muda selanjutnya tidak akan bisa lagi mengenal biota yang ada di laut. Cerita berlanjut pada beberapa nelayan yang berhalusinasi akan membeli sebuah kapal selam dan kapal pesiar dengan ikan yang sudah ditangkapnya. Sementara yang sudah diketahui, ikan-ikan di pulau tempat mereka tinggal bahkan jumlahnya lebih sedikit dari sampah yang ada. Meski begitu, mereka tetap membayangkan mendapat ikan-ikan yang memenuhi ember-ember untuk dapat menaikkan taraf hidup mereka menjadi jauh lebih tinggi dari sejahtera.

Lalu, bagaimanakah nasib hidup para nelayan selanjutnya? Akankah Kong Untung dapat menyadarkan nelayan-nelayan tersebut? Dan yang terutama, bagaimanakah kelanjutan dan akan menjadi apakah pulau tersebut?

Tawa yang Tak Putus

Selama kurang lebih 1 jam pementasan ini berlangsung, jujur saja saya dan kakak saya sangat terhibur dengan lakon yang dimainkan. Drama yang dibumbui dengan komedi ini sukses menghadirkan gelak tawa dari berbagai penjuru teater. Dialog-dialog dan mimik wajah yang dikeluarkan sungguh terlihat natural dan humoristis. Akbar Fakhrizal yang berperan sebagai nelayan dengan gaya berbicara dan gerak-gerik tubuhnya yang jenaka selalu disahut oleh tawa. Kelakar yang dikeluarkannya menambah rasa humor dalam pementasan drama ini. Tidak hanya Akbar, nelayan lainnya pun turut andil dalam membuat drama ini menjadi lebih hidup dan segar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun