Mohon tunggu...
Devira Sari
Devira Sari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya adalah Psikolog yang menyukai dunia tulis menulis dan Sastra. Tarot Reader. A Lifelong Learner. INFJ-A. Empath. Sagittarian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Katanya? Kata Siapa?

7 Juli 2021   10:00 Diperbarui: 7 Juli 2021   12:06 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Devira Sari Pic_Tabayyun

"KATANYA" - satu kata ajaib yang dapat menciptakan suatu penilaian tertentu terhadap seseorang atau kelompok. Begitu ajaibnya sampai dapat mempengaruhi orang-orang di segala tingkat sosial-ekonomi, usia, ataupun pendidikan. Jaman sekarang hal ini dikenal dengan hoax. Istilah hoax muncul pada abad 18, berasal dari kata hocus yang artinya mengecoh atau menipu. Kata hoax populer berbarengan dengan semakin mendunianya internet. Dan memang berita-berita "katanya" ini biasanya adalah berita tipuan yang bertujuan memberikan efek negatif pada objek berita.

Dampak si "katanya" ini lebih jauh lagi dapat menimbulkan konflik bahkan perang seperti antar suku, agama, dan politik. Hal ini dikarenakan berita-berita "katanya" ini memicu munculnya prasangka (prejudice) pada penerima berita. Definisi klasik prasangka pertama kali diperkenalkan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice yang terbit tahun 1954. Istilah itu berasal dari kata praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.

Dalam perkembangannya, teori prasangka mencakup hal yang lebih luas dan kompleks dari sekedar perasaan tidak suka karena pengalaman dangkal. Namun pada kenyataannya, banyak prasangka yang timbul hanya bermodal si "katanya" tanpa disertai proses penelaahan terlebih dahulu (dangkal). Semakin banyak yang bilang, maka berita tersebut semakin dipercaya kebenarannya. Tak penting logikanya, tak penting faktanya. Yang penting, jika orang-orang bilang begitu maka itulah kebenaran. Di tengah banyaknya berita simpang siur dan kesibukan, terkadang banyak orang lebih mempercayai hal instan daripada bersusah susah payah mencari tahu kejadian yang sebenarnya.

Kasus sederhana mengenai prasangka adalah bagaimana seorang objek prasangka dibenci, dikucilkan atau dipersekusi oleh masyarakat. Bahkan bisa jadi rupa wajah si objek prasangka juga belum pernah dilihat, namun gambarannya sudah menyebar kemana-mana. Tentu saja gambaran tersebut merupakan setingan penyebar berita. Fenomena yang lebih kekinian adalah ternyata prasangka juga dapat muncul atau diperkuat dari status atau story di media sosial. Agaknya ada saja oknum-oknum baper yang merasa punya instink cenayang yang dapat menerawang makna di balik tulisan di media sosial. Lalu mulailah mengasosiasikan segala hal yang pada akhirnya hanya memperkuat prasangka.

Lalu bagaimana cara mencegah dan mematahkan prasangka? 

Tabayyun (periksa dengan teliti). Dan tabayyun paling efektif adalah dengan bertemu langsung dengan objek prasangka. Gordon Allport (1954) mengemukakan suatu teori yang disebut Contact Hypothesis. Teori Kontak menyatakan bahwa interaksi (kontak) langsung dapat memperbaiki hubungan, melalui menurunnya prasangka. Menurut Allport, agar kontak bisa mengurangi prasangka maka harus ada empat kondisi yang terpenuhi yaitu: 1. Ada tujuan bersama antara kedua pihak, 2. Adanya kerjasama, 3. Adanya status yang setara antara kedua pihak, dan 4. Adanya dukungan dari institusi, hukum, dan norma. Namun puluhan tahun selanjutnya, Pettigrew dan Tropp (2006) menemukan bahwa empat kondisi yang dikatakan Allport tidak harus selalu ada. Dengan interaksi langsung sudah cukup untuk mengurangi prasangka.

Teori Kontak mendapatkan perhatian sangat besar dari berbagai disiplin ilmu sosial karena potensinya untuk mengurangi konflik antar kelompok. Meski demikian, tidak selamanya kontak bisa berlangsung efektif. Seringkali kontak membangkitkan sikap negatif yang sudah ada sebelumnya dan menimbulkan kecemasan (Crisp & Turner, 2013). Apalagi orang cenderung lebih senang berinteraksi dengan ingroup daripada dengan outgroup (Mallett dkk., 2016). Kalau sudah begini, menurut saya, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri. Seberapa besar pengaruh berita tersebut terhadap kehidupan kita. Seberapa penting kebenaran berita tersebut bagi kita. Ikhlaskan hati untuk mengakui bahwa sebenarnya kita tidak tahu menahu. Dan jika interaksi langsung dirasa banyak mudharatnya, akan lebih sederhana merespon si "katanya" dengan "kata siapa?"
.
.
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka lakukan tabayyun (periksa dengan teliti), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kebodohanmu, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
(Q.S. Al-Hujuraat : 6)
.
.
Semoga bermanfaat
Devira Sari
2019

***

Referensi :

Allport, G. (1954). The Nature of Prejudice. New York : Doubleday Anchor Books.

Crisp, R. J., & Turner, R. N. (2013). Imagined Intergroup Contact: Refinements, Debates, and Clarifications. Dalam Hodson, G., & Hewstone, M. (Ed.). Advances in intergroup contact. New York: Psychology Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun