Mohon tunggu...
Devi Mustafa Putri
Devi Mustafa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - empty

empty

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Dinasti "Aji Mumpung" Mematikan Demokrasi

22 April 2021   10:42 Diperbarui: 22 April 2021   12:13 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang diharapkan kekuasan dapat tersebar secara merata sejalan dengan teori Abraham Lincoln yang terkenal tentang demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakayat, dan untuk rakyat. Itulah mengapa ditanah air kita adanya pemilu karna Indonesia menganut pemerintahan dimana rakyat merupakan pemegang kekuasan tertinggi yang mana para pemimpin negri ini dipilih oleh rakyat dengan amanah membawa aspirasi masyarakat. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Indonesia mengalami pergeseran dari demokrasi ke otoritarian.

Sejalan dengan pemikiran Levitsky dan Ziblatt demokrasi dapat bergeser pada otoritarian apabila jika damagog (provokator) berhasil menjadi pemimpin. Dalam konteks penulisan opini ini penulis akan membahas politik dinasti yang mengancam demokrasi yang didasari dengan teori demokrasi Abraham Lincoln dan didukung oleh pemikiran Levitsky dan Ziblatt tentang bagaimana demokrasi mati?, mengapa demokrasi bisa mati? Bagaimana demokrasi bisa bergeser ke otoritarian? Bagaimana mencegah demokrasi mati itu?

A. Demokrasi mati bagi Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt

Dalam buku yang berjudul “Bagaimana Demokrasi Mati” yang diterbitkan tahun 2019 karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang menggambarkan tentang bagimana kematian demokrasi bisa terjadi, dilihat dari sejarah pemerintahan Amerika Serikat. Levitsky dan Ziblatt mengatakan ada beberapa indikator dalam pemimpin yang otoriter yaitu menolak akan adanya demokrasi yang ideal, menentang legitimasi lawannya, dan membatasi kebebasan sipil lawannya. Mereka juga menjelaskan pergeseran demorkasi ke otoritarian dipicu oleh kehadiran provator atau demagog.

Levitsky dan Ziblatt menggambarkan bagaimana trump menjadi aktor damagog untuk mencuri perhatian publik agar mendapatkan dukungan untuk mendapat kekuasaan. Karna untuk mengapai kekuasaan diperlukan proses yang panjang dari  dukungan electoral college dan sistem konsensi. Trump berusaha mengammbil jalan pintas dari kedua cara yang biasanya dengan mengandalkan media untuk menyebarkan citranya untuk lebih diterima rakyat. Melalui pemberitaan media-media yang mengabarkan sikap Trump yang selalu menjadi polemik sehingga menarik perhatian masyarakat. Berawal dari sikap kontroversial Trump membuatnya semakin berani tampil terang-terangan dengan sikap antidemokrasinya.

Dalam review buku “Bagaimana Demokrasi Mati” Destriana Saraswati mengatakan penolakan Trump terhadap hasil pemilu yang sah menjadi bara api yang memicu konflik dan perpecahan rakyat, menyerukan bahwa lawan politiknya tidak pantas untuk menjadi pemimpin, sampai ia membenarkan pendukungnya melakukan kekerasan untuk mendukungnya, hingga yang paling parah adalah memagari kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang diatur oleh trump membuat runtuhnya bangunan demokrasi di negaranya.

B. Politik Dinasti mendorong kemunduran demokrasi

Pemikiran Levitsky dan Ziblatt bila dilihat di Indonesia dapat digambarkan dalam politik dinasti yang dilakukan di daerah-daerah hingga di pusat. Sama  halnya trump yang menjadi damogog untuk meraih kekuasaan namun berbeda strategi yang terjadi di Indonesia adanya upaya untuk meraih kekuasaan dibutuhkannya gambaran pemimpin yang pro rakyat. Dalam mengambil simpati rakyat dengan melakukan blusukan turun kejalan menunjukan bahwa mereka dekat dengan rakyat, tapi beberapa orang menilai hal tersebut hanyalah pencitraan. Pencitraan tersebut menjadi budaya yang turun temurun yang dilakukan tiap calon pemimpin untuk menggalang massa kemudian mendapatkan kekuasaan lalu cenderung menyalahgunakanya.

Dari pencitraan tersebut masyarkat terpolarisasi yang kemudian mendukungnya sampai menang, salah benar lebih dari itu dukungan yang fanatik ini membuat masyarakat cenderung lebih memilih keluarga atau kerabaat terdekat dari aktor yang mereka dukung untuk jabatan kepala daerah atau pemimpin diperiode selanjutnya masyarakat yang seperti itu bisa disebut juga dengan masyarakat primodialisme. Hal trsebut merupakan cikal bakal lahirnya politik dinasti yang mana tiap satu keluarga yang telah berhasil memenangi hati rakyat di suatu daerah ia akan mengajak sanak keluarga atau kerabat untuk melanjutkan kekuasaanya. Pemeliharaan politik dinasti yang demikian akan mengurangi kesempatan masyarakat untuk berpastisipasi. Pada tahun 2013 berdasarkan data dari Kemendagri ditemukan 57 kepala daerah yang membangun dinasti poitik yang eksis di berbagai daerah di Indonesia.  Kemudian lahirnya dinasti politik ini juga tidak lepas dari sejarah bangsa yang tumbuh dari kearifan lokal yang sangat-sangat dipuja oleh masyarakat pada saat itu.

Dampak dari politik dinasti menagancam hilangnya nilai-nilai demokrasi. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES memperhitungkan bahwa demokrasi indonesia sedang terancam ditandainya konsolidasi oligarki. Dilansir dari kompas.com Wijayanto selaku direkrur center for media and democracy LP3ES  mengatakan indonesia mengalami pergeseran dari demokrasi menuju otoritarian.  Kemunduran demokrasi ini membuat kehidupan berbangsa dan bernegar juga terancam denngan timbulnya banyak pengangguran, kemisninan, hingga pembangunan yang tidak berjalan.

C. Mencegah matinya demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun