Mohon tunggu...
Devidia Tri Ayudiansyah
Devidia Tri Ayudiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - #akuberpikirmakaakuada

Nulla Tenaci Invia Est Via~

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pelajaran Penting Kebijakan Moneter di Era Bubble Economy Sepanjang Historis Global

13 Mei 2020   23:24 Diperbarui: 15 Mei 2020   06:57 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://drvidyahattangadi.com

Fenomena yang umum dikenal krisis keuangan 2008 AS ini disebabkan dengan adanya bubble economy akibat keterbukaan ekonomi atau open economy.

Tercatat harga aset rumah dan tanah sebelum krisis 2008 mengalami peningkatan yang cukup tinggi tak lepas dari jumlah permintaan yang juga demikian tinggi, hingga pada puncaknya mulai di tahun 2005 yang terus mengalami lonjakan harga. Naasnya hal ini pada akhirnya ketika kredit rumah yang juga digencarkan berkontribusi atas peningkatan harga aset, kemudian membawa beberapa kreditur mengalami hambatan dalam pembayaran. Yang pada akhirnya memberi risiko pada pengembalian dana aset di AS tersebut.

Perilaku agen ekonomi pada akhirnya mulai tidak mempercayai pasar atas dasar ketidakpastian ini, jumlah investasi baru di AS pada akhirnya mengalami penurunan tajam setelah cukup tinggi pada masa bubblenya.

Bubble economy juga terjadi pada perekonomian Jepang, umumnya kita mengenal sebagai "dekade yang hilang". Pada tahun 1990an diawali dengan kondisi penguatan Yen akibat perjanjian devaluasi the Fed pada dollar, atau biasa disebut Plaza Accord.

Respon global terkait penguatan Yen ini cukup baik. Yen menguat dari 254 Yen untuk 1 dolar AS di 1985 menjadi 127 Yen untuk 1 dollar AS di akhir tahun 1990. Disusul lagi dengan penguatan tahun 1995 di angka 80 Yen per dollar AS.

Layaknya krisis keuangan 2008 di AS, kondisi penguatan ini juga sempat membawa kelegaan tersendiri pada para agen ekonomi yang terlibat di dalamnya. Beberapa investor asing ikut berkontribusi di dalam perekonomian Jepang pada tahun 1990an itu.

Tak berhenti di situ, Jepang bisa kita katakan sebagai kategori negara yang dermawan. Ditengah Yen yang menguat, Jepang membeli utang negara lain dalam jumlah besar dengan harapan kestabilan tingkat suku bunga global. Sayangnya hal-hal ini yang pada akhirnya menjadi blunder menyerang Jepang dengan menumbuhkan bubble semakin besar karena harga aset yang melambung, dan meletus akibat ketidakpastian para kreditur untuk membayar kembali. Indeks saham Nikkei salah satunya yang terdampak, pada tahun 1989 mencapai angka 39.000 Yen, dan akhirnya di tahun 2004 menjadi 7500 Yen.

Jika ditarik garis lurus dari masa krisis AS dan Jepang ini, ada hal krusial yang penting digaris bawahi. Adanya bubble economy cenderung karena kemudahan-kemudahan pemberian modal berisiko seperti kredit serta juga ketidakpekaan agen ekonomi pada terjadinya bubble.

Dengan anggapan peningkatan harga tersebut sebagai hal yang lumrah dan menguntungkan. Serta peramalan rancu yang menyatakan peningkatan harga dan return akan sustainable (Alan, 1996).

Selain faktor ketidakpastian yang memperburuk keadaan krisis akibat bubble, juga dipengaruhi respon kebijakan moneter negara yang terdampak.  

AS selama masa bubble yang menyerang itu, sama sekali tidak menggunakan alat moneternya untuk mengatasi masalah yang ada. Hal ini didasarkan pada The Federal Reserve yang mengesampingkan langkah kebijakan moneter karena anggapan skeptisnya tentang pengaruh kecil dan mungkin akan adanya kesalahan menyusul saat menerapkan kebijakan moneter dalam masa bubble (Roubini, 2006).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun