Mohon tunggu...
Devi P. Wihardjo
Devi P. Wihardjo Mohon Tunggu... Editor - Hidup Yang Menghidupkan

Pemerhati Pemerintahan, Politik, Sastra, Filsafat, Ekonomi Indonesia, Pendidikan dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Jalan Tengah Ala SBY

18 Oktober 2019   16:00 Diperbarui: 18 Oktober 2019   17:10 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Demokrasi tak harus selalu diwarnai dan diselesaikan dengan sistem one person, one vote. Tapi juga ada semangat lain. Kompromi dan konsensus yang adil dan membangun bukanlah jalan dan cara yang buruk" --Susilo Bambang Yudhoyono (Penggalan Pidato bertema 'Kontemplasi', 9 September 2019 di Puri Cikeas Jawa Barat)

SELEPAS menjadi presiden ke-6 RI yang menjabat dua periode, agaknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak pernah ingin berhenti memberi sumbangsih bagi Ibu Pertiwi. Pemikiran dan gagasannya acap kali ditunggu oleh elemen bangsa, dalam pidato Kontemplasi SBY saat peringatan Hari Jadi Partai Demokrat, Hari kelahiran SBY dan 100 wafat Istri tercinta Ani Yudhoyono.

Politik kita saat ini masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia pasca reformasi, sebab betapa banyak yang memakai 'rakyat' hanya sebagai objek manfaat, hal itulah yang mendorong begitu banyak masyakat menjadi pasif setelah mereka mengeluarkan darah dan air mata menjadi pendukung sebuah parpol. Para politisi saat ini seolah membuat kelas sosialnya sendiri, wakil rakyat misalnya, mengaku mewakili rakyat tetapi hanya mencari 'suara' nya saja tanpa memikirkan harus berbuat apa setelah dipilih.

Sementara wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif hidup bergelimang harta dan saling menunjukkan kelas sosial, meskipun bukan hasil korupsi (wallahualam), padahal gaya hidup sederhana pun tak membuat mereka mati kelaparan. Wakil rakyat (Legislatif) dan jajaran pemerintah (eksekutif) menjadi kelas sosial yang 'takut miskin' itulah yang menyebabkan korupsi begitu rentan dikalangan pejabat pemerintah, padahal politisi yang lahir dari hidup yang prihatin akan menjadi politisi yang mampu memahami kesulitan rakyat, jangankan untuk korupsi, tak menyalurkan program kepada warga saja sudah salah.

Politik identitas juga yang dimainkan sebagai gorengan kampanye menyirap masyarakat menjadi terkotakan akibat agama, kepercayaan dan ideologi. Politik adu domba yang digunakan Belanda saat masih menjajah Indonesia selama lebih dari 3,5 abad agaknya memang mampu memecah belah Indonesia justru saat ini, dahulu bahkan perbedaan suku bangsa dan agama yang begitu besar di Indonesia mampu menyatukan pemuda Indonesia melalui konsensus kebangsaan yang disebut dengan Sumpah Pemuda tahun 1928.

Jalan tengah seperti halnya kalimat lain kita jangan terlarut pada hiruk pikuk dan keruwetan cara pandang masing-masing kubu yang intinya untuk saling menjatuhkan, jalan tengah bukanlah jalan abu-abu atau plin plan. SBY seolah ingin mengajak masyarakat fokus kepada pembangunan mental pribadi, misalnya dengan membentuk cara berfikir yang jernih, berprilaku yang bermoral, beragama yang cinta damai dan berkemanusiaan. Jangan mau didompleng oleh berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kita untuk kepentingan politiknya, jalan tengah adalah sebuah kontemplasi yang berarti  memandang jauh ke depan demi mendapatkan arah dan kemungkinan tindakan lain (antisipasi) yang lebih bermakna.

Itulah mungkin yang membuat SBY bicara tentang Demokrasi dengan tema Kontemplasi dikediamannya di Puri Cikeas Bogor 9 September lalu, kita tahu bahwa SBY adalah salah satu tokoh yang filosofis yang kerap menyiratkan makna dalam setiap ucapan dan tindakannya. Barangkali itulah Demokrasi yang diperlukan bangsa ini saat ini. Itulah yang ada didalam pemikiran pria kelahiran Pacitan Jawa Timur ini.

Merujuk pada sikap negarawan bangsa kita, Soekarno juga kerap menelurkan kebijakan yang penuh muatan kontemplasi, ditengah Sidang BPUPKI yang merekam pertentangan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim (Faisal Ismail), kebangsaan, Islam dan ideologi Barat modern sekuler (AMW Pranarka). Saat itu  Ada tiga kekuatan ideologis dengan sengit bertarung dalam sidang itu adalah Nasionalisme, Islam, dan Sosialisme/Marxisme. Perdebatan panjang itu akhirnya menemukan titik temu: Pancasila sebagai jalan tengah.

Dengan lapang dada (ikhlas), semua agama, kepercayaan, dan etnik menerimanya. Ide tentang dasar negara yang awalnya diajukan Mohammad Yamin dan kawan-kawan dalam pidatonya pada sidang BPUPKI dan dideklarasikan Ir Soekarno dengan nama Pancasila pada 1 Juni 1945 telah tampil menyelamatkan sengketa politik berbasiskan sentimen teologis. Pancasila sebagai dasar negara hasil dari sebuah kompromi agung, dari konsensus warga bangsa dengan melihat fakta sosiologis masyarakat Nusantara yang heterogen sekaligus mempertimbangkan fakta teologis yang menjadi keyakinan masyarakat negeri kepulauan.

Pancasila jadi payung yang menaungi semua keragaman dan memberikan jaminan tentang tekad hidup dalam NKRI. Pancasila inilah sejatinya yang menjadi perekat kokohnya negara persatuan. Padahal, sebelumnya masih berupa puak yang terserak, kerajaan tersebar dengan bahasa dan budaya yang juga berlainan. Berkah Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan dari spirit keagamaan kita sebagai bangsa masih bertahan sampai sekarang. Maka, dalam konteks negara kebangsaan, tidak semestinya dilakukan: pertama, satu kelompok merasa lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain; kedua, menyelesaikan sejumlah persoalan publik dengan mendahulukan akal sehat dan kepentingan bersama; ketiga, tidak diperkenankan sebuah ormas mendesakkan keinginannya kepada "negara" atas dasar keyakinan subyektif; keempat, selalu yang mesti dilakukan adalah dialog atau musyawarah mufakat menjadi pintu masuk dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

SBY agaknya melihat kerunyaman bangsa saat ini akibat banyak yang sulit berlapang dada atas takdir dan jalan bangsa Indonesia yang diberi anugerah beraneka suku bangsa, budaya dan agama. SBY merefleksikan kondisi bangsa dengan batinnya sendiri yang merasa sulit menerima kenyataan ditinggal selamanya oleh orang-orang terkasihnya (Ibunda dan Istri tercinta), akan tetapi rasa rela dan taat kepada Sang Pencipta membuat SBY berupaya mengatasi rasa sedihnya menjadi kekuatan yang mencerahkan dan menginspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun