Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Para Pembajak Buku yang (Tak) Baik Hati

27 Oktober 2019   21:37 Diperbarui: 28 Oktober 2019   04:55 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
toko buku/ Photo by Min An from Pexels

Efeknya, mereka dengan terang-terangan menjajakan buku bajakan di kaki lima, pasar, bahkan turut meramaikan marketplace, yang justru banyak berlabel karya anak bangsa.

Lalu sikap masyarakat? Rasanya mantra "bodo amat" masih mendominasi. Selama murah, selama terjangkau, & selama birahi membaca masih dapat tersalurkan. 

Oleh karenanya, agak kurang relevan kala masyarakat kita disuguhi matra untuk "bodo amat" seperti yang terdapat dalam buku yang belakangan nge-hits karya Mark Manson (penulis buku: Sebuah Seni Untuk Bersikap bodo Amat).

Kenapa? Karena masyarakat kita sudah jauh-jauh hari mengadopsi hal tersebut. Buktinya, sampai sekarang ini hal-hal seperti tak menghargai karya orang lain, merebut karya orang, atau memperkaya diri lewat lewat lajur menari-nari di atas penderitaan banyak pihak (penulis, penerbit, editor, layouter, dan segala macamnya), bukanlah sebuah masalah yang butuh untuk disuarakan bersama-sama.

Melihat fenomena ini, diri pribadi memliki anggapan, sepertinya para pembajak telah salah mengartikan mantra dari Bung Karno, ketika Zaman pendudukan Jepang, dengan bersuara lantang "Amerika kita setrika, inggris kita linggis."

Mereka, para pembajak ini, justru malah mensetrika karya orang lain, dan melinggis penerbit-penerbit buku yang telah banyak berkeringat memajukan tingkat literasi dari bangsa Indonesia. Apa kita akan diam saja? I don't think so.

Perlawanan (Pribadi) Terhadap Pembajakan Buku

Hidup di dalam keluarga yang sedikitnya mengamini ucapan Tan Malaka "Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi." membuat diri pribadi menjadi sedemikian paham nikmatnya memiliki buku yang original (apalagi sampai ada tanda tangan langsung oleh penulisnya). 

Rasa bangganya dapat dikatakan melebihi saat-saat memiliki smartphone dengan tiga kamera belakang atau mengoleksi sepatu anyar karya Rapper terkenal.

Meski begitu, dahulu, sebelum bisa menghasilkan pendapatan dari kantong pribadi, uang jajan lah yang ditabung untuk membeli sebuah buku. Kala nabungnya rajin, bisa jadi satu buku terbeli dalam waktu satu bulan, atau kalau tak rajin bisa sampai dua-tiga bulan lamanya untuk satu buku saja.

Kalaupun, belum mampu membeli, maka diri pun melangkahkan kaki ke perpustakaan daerah, ataupun rumah salah seorang teman guna membaca buku koleksinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun