Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

"Teh dan Pengkhianat", Bukti Bahwa Sejarah (Tak) Selamanya Membosankan

18 Agustus 2019   14:04 Diperbarui: 18 Agustus 2019   22:55 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, belajar sejarah ialah hal yang membosankan, dan bagi sebagiannya lagi akan menganggap bahwa mempelajari sejarah termasuk dalam aktivitas yang membuang waktu. 

Kalaupun ada yang menganggap penting, maka anggapannya akan sejarah hanya dirasa sebagai pelengkap serta prasyarat untuk menuntaskan mimpi menjadi sarjana.

Hal ini mirip-mirip seperti mendengarkan pembukaan dari undang-undang dasar 1945: "dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia."

Hanya membawa sampai ke pintu gerbang, bukan mencoba untuk berjalan lurus, memaksa masuk, ataupun menikmati gairah yang tawarkan oleh kemerdekaan (sejarah). 

Tapi, mau bagaimana lagi, setidaknya itulah jawaban yang diri pribadi dapatkan dari rekan-rekan yang sebaya kala konkow di sebuah warung kopi. Rasanya topik sejarah masih kalah seksi dari topik sandang (trend hypebeast), pangan (kulineran) maupun instastory (liburan).

Tak ingin menepis realita, diri pribadi-pun sempat berpikir seperti itu, namun setelah berproses, mengenal banyak litelatur terkait sejarah, berjumpa sejarawan, ikut menapak tilas suatu tempat bersejarah, serta berkesempatan mengenal karya-karya dari Iksaka Banu, mulai dari Cerpennya yang dibukukan "Ratu Sekop", "Semua untuk Hindia," hingga novel teranyarnya "Sang Raja." Melalui proses itu, diripun menjadi paripurna menyukai sejarah.

Kenapa karya dari Iksaka Banu dapat berpengaruh begitu dalam? Jawabannya jelas, bagi diri pribadi, ialah salah satu penulis terbaik yang mampu menempatkan suatu peristiwa bersejarah dengan diramu menjadi suatu cerita yang menarik, mendebarkan dan mampu memunculkan rasa keingintahuan.

Hal itu sesuai dengan harapan penulisnya sendiri "Menulis fiksi sejarah untuk menjadi jembatan kecil, titik perkenalan awal bagi generasi muda agar tertarik mebangi sejarah negeri kita yang sungguh kaya dan penuh warna." 

Bahkan, Sebelum membuka lembaran baru karya dari Iksaka Banu "Teh dan Pengkhianat" yang dibukukan. Sebuah pertanyaan kemudian menghantui diri, "Dapatkan kumpulan cerpen berlatar belakang sejarahnya kali ini, akan terlihat lebih baik (atau lebih biasa) dari karya terdahulunya yang berjudul Semua Untuk Hindia"? 

Beruntungnya, lewat ke 13 cerpen yang terangkum didalamnya, sudah pasti dapat mengimbangi karya sebelumnya. Sekalipun, Ramuan yang digunakan masih relatif sama, yaitu lebih menitik beratkan kepada tokoh seorang Belanda aka kulit putih, baik yang murni maupun tergolong Mestizo (berdarah campuran, setengah eropa, setengah non eropa), sembari menyebarkan pesan-pesan jikalau sejarah itu tak selalu hitam putih (karena sejarah itu banyak warna).

Kisah-kisah yang dituturkan kali ini terasa (lebih) menarik, karena tak melulu berbicara terkait perang. Mulai dari lembaran awal, hingga akhir halaman, Setidaknya, memberikan gambaran bahwa empunya karya telah memberikan sentuhan perkara kemanusiaan, perkara fanatisme buta, perkara harapan, perkara pengorbanan dan perkara perjuangan (dalam hal ini berjuang melawan ketidakadilan).

Pertama, perkara kemanusiaan, hal ini dapat dilihat dari karya dengan judul "Kalabaka," sebuah cerpen yang memuat fakta sejarah terkait pembantaian orang-orang Banda (Banda Neira, Maluku) yang diantara dilakukan oleh tentara (bahkan sampai melibatkan 100 orang samurai bayaran atau yang dikenal dengan ronin).

Disini diceritakan, bahwa salah seorang schutterij (milisi, non-tentara dari kalangan terhormat, namun mahir menggunakan senjata) yang notabene orang Belanda, ternyata masih memliki hati nurani dan menolak keras kekerasan yang dilakukan di daerah tersebut (sekalipun ia dihukum).

Kedua, Perkara fanatisme Buta, hal ini tersaji secara renyah dalam "Tegak Dunia," dengan menitik beratkan cerita terkait hadirnya Globe (tiruan bumi) dalam membungkam opini para pemuka agama saat itu yang meyakini bahwa bumi itu datar (karena sangking fanitiknya dengan agama). 

Dikarenakan merasa lelah dengan realita tersebut seorang petinggi Schutterij (Kapten Zwarte Van de Vlek) mengungkap  "bahwa bumi bulat adalah bid'ah terbesar yang dilakukan orang Kristen kepada kaumnya sendiri.(hlm 21)" 

Terkait bumi datar sendiri, walau sudah memasuki abad ke-21, kiranya, keyakinan akan bumi benar-benar datar, masih diamini sebagian orang yang percaya (tak tahu kenapa). Agar mereka sedikit terbuka pikirannya, rasanya sebuah dialog ini menarik untuk dibacakan kembali "Ia boleh setia pada keyakinannya, tetapi ia tak bisa mengancam pihak yang sudah memiliki bukti lebih kuat dan diuji banyak orang. (hlm 28)"

 Ketiga, Perkara Harapan, suatu hal yang wujudkan dalam bentuk cerpen "Belenggu Emas" yang bercerita terkait kekaguman wanita kulit putih kepada sesosok wanita pribumi yang digadang-gadang sebagai pembaharu. 

Wanita tersebut tak lain ialah Rohana Kudus, salah seorang pelopor emansipasi (selain Kartini) yang menjadi tokoh gerakan perempuan di Sumatra Barat, dan menerbitkan surat kabar yang membawa serta harapan untuk kemajuan kaum perempuan, Soenting Melajoe (SM).

Kekaguman wanita kulit putih terlihat jelas kala berucap "Aku harus bertemu dengan wanita Minang yang luar biasa ini. Wanita yang telah menjadi ilham bagi banyak orang di Hindia. (hlm 115)"

Keempat, Perkara Pengorbanan, justru dijumpai dari cerpen bertema "Variola" yaitu mengambil setting tentang cara Hindia memerangi wabah cacar yang penyebarannya sangat cepat di nusantara, bahkan, di Ambon, Ternate dan Bali, sudah banyak yang meninggal dunia. Untuk itu, pengiriman vaksin dari Belanda muncul sebagai solusi dan diapit pula oleh solusi lain berupa produksi vaksin di nusantara saja.

Namun, kedua solusi tersebut cenderung lama serta karena sudah kandung urgensi. Mau tak mau, upaya pencegahan haruslah disegerakan. Solusi lainnya yang keluar ialah berupa mencari anak yatim piatu di Batavia, lalu setelahnya membawa mereka ke Bali dan di perjalanan, tubuh mereka akan dimasukkan vaksin agar bisa dipanen untuk banyak orang, supaya kebal dan segera bangkit menaklukkan penyakit. 

Meski mendapat penolakan, akhirnya solusi ini bisa menjadi bukti bahwa orang-orang kulit putih tak melulu menjajah, tetapi ada rasa kemanusiaan tinggi dalam dirinya.

Kelima (dan terakhir), perkara perjuangan. Hal ini dijelaskan dengan apik dalam cerpen (yang sama dengan judul buku) "Teh dan pengkhianat." Diceritakan disini kita akan melihat kontradiksi bahwa yang berjuang dalam hal melawan kemunafikan ialah buruh-buruh dari Cina. 

Mereka melakukan pemberontakan didasarkan karena dua pokok, gaji yang jauh dari kesepakatan dan tentu saja karena kekejaman pemimpin yang kerap menghukum berlebihan.

Uniknya, justru pemerintah Hindia Belanda, pada saat ini justru memanfaatkan orang Indonesia yang cukup terkenal untuk memukul mundur laju pemberontakan. 

Tokoh yang digunakan jasanya ialah Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan jenderal perang dari Diponegoro. Menurut diri pribadi, disinilah letak berwarnanya sejarah, siapa yang benar dan siapa yang salah (sekali lagi) hanya urusan sudut pandang dan kepentingan.

Rasanya kelima cerpen tersebut, dapat memberikan gambaran bahwa Iksaka Banu sungguh serius dalam menyelipkan pemahaman bahwa sejarah itu sungguh menarik jikalau dipelajari dari banyak sisi (yang tak cuma hitam putih, tetapi berwarna). 

Setali dengan membaca habis buku ini, selipan keinginan agar karya-karya berikutnya cepat dirangkumkan (bila perlu dibukukan), agar orang-orang (terkhususnya diri pribadi), dapat mempelajari, dapat mencari tahu, dan dapat bernostalgia akan sejarah-sejarah masa lalu, yang sudah sedemikian menarik diulas oleh sang penulis. Jadi, selamat berkarya bung Iksaka Banu.

Detail

Judul Buku: Teh dan Penghianat
Penulis: Iksaka Banu
Terbit & Cetakan: April 2019
Penerbit: (KPG) Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah Halaman: 164

signature
signature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun