Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Liburan Anti Ribet, Berjumpa Langsung dengan (Monumen) Pahlawan dari Batavia

6 Juni 2019   12:33 Diperbarui: 6 Juni 2019   12:39 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Kepala Peter Erberveld/ dethazyo

Bagi penjajah Belanda, ia dianggap sebagai pemberontak yang terkutuk, bagi penjajah Jepang ia menjadi simbol perlawanan terhadap kolonial, dan bagi bangsa Indonesia sendiri, ia telah dianggap sebagai pahlawan, tepatnya salah satu pejuang kemerdekaan yang lahir justru bukan dari peranakan ibu pertiwi, melainkan penduduk Eurasia (indo-eropa) Batavia. Siapa lagi kalau bukan Pieter Erberveld.

Sosoknya jelas jauh dari kata terkenal ataupun populer di-era kekinian. Tak sepopuler Soekarno, tak se-masyhur Tan Malaka, dan tak se-terkenal Thomas Stamford Raffles. 

Betapa tidak, hampir seluruh litelatur pelajaran sejarah yang ada di bangku sekolahan maupun kuliahan, tak ada mengulas sosok yang dulunya dikenal sebagai salah satu orang yang berani melakukan perlawanan terhadap Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau kolonial Belanda yang sewenang-wenang sekitar tahun 1721 di negeri yang berjuluk koningin van het oosten (ratu dari timur), Batavia.

Alkisah pada tahun 1721, Pieter Erberveld dalam serangkaian pertemuannya dengan rekan-rekan pribumi memiliki rencana untuk memerdekakan Batavia dengan cara mengusir Belanda. Singkat cerita, tepat sebelum hari H rencananya dijalankan. Rencana tersebut malah bocor ke telinga kompeni berkat ulah salah seorang rekan pribumi.

Akibatnya, serupa yang digambarkan oleh William Bradley Norton, dalam artikelnya yang kemudian menjadi buku dengan judul "Pahlawan dari Batavia" mengungkap bahwa "Erberveld segera ditangkap, dan dieksekusi dengan cara mengerikan bersama rekan pemberontak lainnya -- Cartadrie, 14 orang pria lain, dan 3 orang wanita."

Eksekusi akan Erberveld inilah yang membuatnya dikenang dengan nama "Pangeran Pecah Kulit" dikarenakan cara eksekusi yang begitu mengerikan, kedua tangan dan kaki diikat dan ditarik oleh 4 kuda yang berlari berlawanan arah, dan tubuhnya pun terbelah menjadi 4 bagian. Tak sampai situ saja, kepala Erberveld kemudian dipenggal, dan ditancapkan ke sebuah tombak. 

Kiranya setelah 1 tahun berselang, tepatnya 14 april 1722, sebuah monument dibuat oleh kompeni guna menjelaskan tujuan berdirinya monumen teruntuk orang-orang yang kala itu dapat berbahasa Belanda dan Jawa.

Kira-kira isinya seperti ini (dalam bahasa Indonesia tentunya): "Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat: Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722."

tulisan di monument dengan bahasa belanda & jawa/ dethazyo
tulisan di monument dengan bahasa belanda & jawa/ dethazyo
Dulu monumen ini dapat dinikmati kala melawat ke kawasan Jacatraweg (sekarang menjadi jalan pangeran Jayakarta). Kiranya monumen ini begitu mulai dikenal oleh masyarakat kala Jacatraweg dilalui jalur trem listrik yang beroprasi pada tahun 1925. 

Oleh karenanya, turis-turis yang ingin melancong ke Hindia Belanda saat itu, paling tidak, sempat melihat, sempat berbenti, dan sempat mengamati monument yang digadang-gadang dengan label konspirasi 1721.

Bahkan saking terkenalnya Jacatraweg kala itu, dalam buku rekaan Simon Winchester, Krakatoa: The Day the World Exploded, terdapat sebuah penggalan lagu yang ditulis Mr. Speenholf berisi penggambaran akan Jacatraweg: At long last I enjoyed my self/ outside Batavia along the green/ heather on Jaketra road. (Beristirahat diri ini akhirnya/ diluar Batavia, sepanjang kehijauan/ suasana Jalan Jaketra).

Strategi pembangunan monumen dapat dikatakan efektif. Kenapa? Karena setelah kejadian itu, hampir tak ada lagi pemberontakan melawan kompeni di Batavia. Itu diungkap oleh Mayumi Yamamoto dalam buku yang sama dengan William Bradley Norton, Pahlawan dari Batavia.

Saking istimewanya monument ini, Kaneko Mitsuhari dalam Kaneko Mitsuharu shishu (antologi Kaneko Mitsuharu), turut mengungkap bahwa keistimewaan utama Batavia bukanlah patung perunggu Gubernur Jendral sekaligus pendiri Batavia, Jan Pieterszoon Coen, bukan juga gerbang kemenangan. Karena keistimewaan utama itu adalah kepala Pieter Erberveld.

Mengunjungi dan Melihat Langsung Monument Erberveld

tengkorak yang ikonik/ dethazyo
tengkorak yang ikonik/ dethazyo
Atas keistimewaan cerita dari monument Erberveld, diri pribadi pun ikut-ikutan ingin mengunjungi dan mempelajari langsung sesuatu yang dulunya sempat diagung-agungkan sebagai simbol kemerdekaan. Pikiran ini diambil, sama seperti yang sering diutarakan oleh Antropolog Inggris, Kate Fox. Ia sering berujar "kalau ingin mempelajari sebuah kota di Inggris, Anda perlu pergi ke Pub setempat."

Nah, lantas saya harus kemana? Apa monumen tersebut masih berada di tempat yang sama, Kampung Pecah Kulit alias di Jalan Jacatraweg aka jalan pangeran Jayakarta? Atau di tempat lainnya? Who knows?

Maka dari itu, semangat #antiribet dan #DiBikinSimpel mendominasi, sehingga jemari langsung merespon pertanyaan yang ada, kemudian dengan lihai berselancar mencari informasi melalui dunia maya.

Sayangnya, informasi yang dapat malah mengungkap monumen tersebut telah dibongkar pada tahun 1942 disertai adanya upacara penguburan tengkorak oleh pasukan Jepang. Penjajah Jepang menganggap Erberveld terlalu banyak mengingatkan lembar sejarah gelap masa kolonial, maka dari itu pembokaran dilakukan guna menghapus sejarah gelap dari benak orang-orang nusantara.

Beruntung, setelah Indonesia merdeka, monument tersebut didirikan kembali, namun bukan di tempat asalnya, Jacatraweg. Kini, monument kepala Erbelveld dengan gagah berdiri di Museum taman Prasasti atau yang lebih dikenal dengan nama Kerkhof Laan (nama asli TPU Kebon Jahe Kober yang sejak juli 1977 diresmikan sebagai Museum Taman Prasasti), dan tak menunggu lama, kala berjumpa kembali dengan akhir pekan, diri pun melangkah ke museum yang dulunya dijuluki "kuburan orang Belanda" atau istilah kerennya "Graff der Hollanders."

Benar saja, walau ini kali pertama berkunjung, hati dibuat takjud dengan keindahan kuburan zaman belanda. Kalau kata anak millenials "ini mah bukan tempat pemakaman umum, tapi tempat yang instagramable bingit." Hehehee.

Sebelum menemukan monument, lebih dulu diri menjelajahi Museum dengan berjumpa langsung dengan makam istri dari sang Gubernur Jendral asal Inggris, Thomas Stamford Raffles, Olivia Marianne Raffles (1814), pendiri sekolah Kedokteran Stovia, Dr. H. F. Roll (1935), dan Nisan seseorang yang terkenal dengan catatan hariannya yang berjudul "Catatan Seorang Demonstran," Soe Hok Gie (1969).

nisan soe hok gie/ dethazyo
nisan soe hok gie/ dethazyo
Barulah setelahnya langkah tepat berhenti dihadapan monumen dengan ciri khas tengkorak yang tertancap. Sejenak diri langsung setuju dengan anggapan Mayumi Yamamoto kembali, susuna taman dengan monumen-monumen dan batu-batu nisannya seakan menggambar profil Pieter Erberveld sebagai pahlawan kemerdekaan atau paling tidak pahlawan antikolonial.

Dia seakan-akan menjadi simbol utama kekuatan melawan kolonial, nasionalisme Indonesia, serta kepercayaan dan identitas islam (by the way, Erberveld beragama islam). Sekalipun monument ini kurang dikenal, sampai-sampai mayoritas masyarakat Jakarta, banyak yang tak paham makna akan monumen selain keseraman dibalik tengkorak tertancap tombak.

Tetapi, dengan dibangunnya kembali monumen ini oleh negara pada pemerintahan orde baru patut patut diapresiasi, apa lagi kalau bukan pemerintah ingin menunjukkan bahwa monumen ini memang memiliki makna yang mewakili semangat seluruh bangsa Indonesia dengan segenap hati menuju gerbang kemerdekaan Indonesia.

Besar harapan melalui tulisan ini, salah satu atraksi wisata yang ada di Museum Taman Prasasti dapat lestari dan mashyur layaknya kisah-kisah heroik lain, semisal Si Pitung, Untung Suropati, ataupun Pangeran Diponegoro. 

Untuk itu, tetap ingat pesan Bung Karno, JAS MERAH (Jangan Sekali-kali meninggalkan sejarah). Dan biarkan sihir Erberveld memberikan kita semangat untuk dapat berjuang menjalani kehidupan lebih baik yaitu memperoleh KEBEBASAN.

signature
signature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun