Mohon tunggu...
Desy Putri Ratnasari
Desy Putri Ratnasari Mohon Tunggu... Ilmuwan - Researcher

Research Assistant at Center for Bioethics & Medical Humanities FKKMK UGM.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjadi Bioethicist Muda di Indonesia itu Tidak Mudah

19 Juli 2021   16:43 Diperbarui: 22 Juli 2021   13:55 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bioethicist. Sumber: Freepik.com

“Orang yang hidup, berhak untuk terus hidup karena dia sudah hidup dan mempunyai hidup.” (C.B. Kusmaryanto, SCJ)

Lulusan biologi mau jadi apa, kata mereka. Menjadi lulusan biologi yang memiliki ketertarikan dengan dunia bioetika lalu mau jadi apa, sih. Masih banyak orang yang belum tahu apa itu jurusan bioetika dan apa kontribusinya untuk dunia. 

Baiklah, sebelum sampai ke sana, saya akan menjelaskan apa dan bagaimana itu bioetika. Bioetika pertama kali dipopulerkan oleh seorang dokter onkologis (kanker) Van Rensselaer Potter dari Amerika tahun 1971. Yaa, memang masih terlihat muda ilmu ini dengan kelahiran di akhir abad 19. 

Walaupun sebetulnya kata Bioetika pertama kali terdapat di artikel oleh seorang ilmuwan Jerman yaitu Fritz Jahr (1895-1953) berjudul “Bio-Ethik: Eine Umschau über die ethischen Beziehungen des Menschen zu Tier und Pflanz” pada tahun 1927. Tetapi yang menjadikan kata bioetika populer adalah Potter. 

Sebagaimana dia, Potter menulis: “Saya mengambil posisi bahwa ilmu pengetahuan mengenal kelangsungan hidup harus dibangun atas dasar ilmu biologi dan diperluas melampaui batas-batas tradisional yang harus mencakup unsur-unsur ilmu sosial dan kemanusiaan yang paling esensial dengan penekanan khusus kepada filsafat dalam arti yang sempit yakni cinta akan kebijaksanaan.”

Kala, anak muda lainnya menekuni bidang internet, teknologi, marketing, manajemen, dan setelah lulus bekerja di sebuah start-up digital. Bioetika adalah disiplin ilmu yang unik, bayangkan saja hanya satu-satunya prodi Bioetika di Universitas Gadjah Mada. 

Walaupun jurusan ini terkesan aneh dan baru, tetapi jangan salah para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya memerlukan jurusan ini sebagai langkah menempuh pendidikan formalnya, kala sebelumnya hanya sertifikat program beberapa bulan saja untuk menjadi bioethicist maka sekarang berdasarkan data di lapangan harus menggunakan ijazah dari perguruan tinggi. 

Jurusan bioetika tidak hanya diperuntukkan bagi mereka para tenaga kesehatan, melainkan saintis, dan ilmu sosial juga sangat memerlukan bidang ini. 

Bagaimana tidak, bahwa ketika di luar negeri sana sudah banyak menerapkan interdisipliner dan kita di Indonesia masih saja seakan-akan mengotak-ngotakkan jurusan dan bidang, hingga setelah lulus kuliah bahkan kita tidak bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusan kita dahulu.

Baiklah, mengapa di judul saya mengatakan bahwa “Menjadi Bioethicist di Indonesia itu Tidak Mudah.” Saya memandang bahwa setiap bidang harus memiliki ‘jembatan ilmu’ dan itu salah satunya adalah bioetika yang menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia nantinya, di mana dunia yang semakin serba terspesialisasi dan ada tendensi bahwa setiap ilmu memegang erat masing-masing bidangnya sehingga seakan-akan menjadi sangat eksklusif, tertutup dan tidak saling berhubungan. 

Dunia saat ini adalah dunia kolaborasi, bukan dunia kompetisi. Begitupun dengan ilmu pengetahuan yang sudah ada sejak jaman dahulu kala dan berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan yang dapat menjawab tantangan zaman yang sebetulnya ujung daripada kebermanfaatan itu adalah untuk umat manusia. Berbicara konteks manusia memang tidak mudah, tetapi tujuan yang dibicarakan adalah manusia yang satu dan sama. 

Oleh karena itu, diperlukan suatu disiplin ilmu yang menghubungkan nilai-nilai etis, agama, budaya, hukum, dan sebagainya dan tentunya pemahaman biologis-medis. 

Kita sudah memiliki banyak pakar bioethicist senior yang telah memprakarsai dan memulai kajian ataupun workshop bioetika sejak tahun 2000-an, tetapi untuk menjadi the youngest bioethicist itu bukanlah hal yang mudah. 

Bioetika sebagai kajian cross-cutting issue yang nantinya diharapkan dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang yang sudah semakin canggih terlebih dengan beberapa contoh teknologi Artificial Intteligence (AI), Clusteres Regularly Interspaced Short Palindromic Repeat (CRISPR) Cas-9 gene editing untuk mendesain bayi dan penyakit genetik, microchip yang ditanamkan di otak manusia, dan lain sebagainya.

Sebagai seorang saintis, saya memiliki kewajiban untuk memberikan ilmu pengetahuan yang saya ketahui. 

Melalui tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa menjadi bioethicist muda dan terkendala sumber daya manusia untuk menjadi bioethicist atau sekdar menjadi ilmuwan yang terbaik di bidangnya masih sangat sulit berkontribusi untuk negerinya walaupun pada kenyataannya Indonesia memiliki anak-anak muda ilmuwan yang mumpuni tetapi seringkali tidak dihargai yang katanya di negerinya sendiri, sehingga saat pandemi seperti ini, orang-orang kelimpungan, mereka yang bukan terbaik di bidangnya malah menjadi seolah-olah ‘ahli’ di bidangnya dan memimpin apa yang seharusnya bukan menjadi bagiannya. 

Miris memang. Berkata ilmuwan sederhana saja tidak usah muluk-muluk menjadi bioethicist masih sangat diragukan di tanah airnya sendiri, lalu bagaimana dengan nasib bioethicist yang masih abstrak di negeri kita ini?

Sudah seharusnya, pada masa sekarang ini, pendekatan interdisipliner dan multikultural harus semakin masif dijalankan oleh berbagai pihak sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk yang multidimensi sehingga pendekatan hanya dari satu sisi saja tidak akan cukup dan memuaskan, dan orang-orang yang seharusnya profesional di bidangnya adalah yang dapat merawat kekayaan bangsa kita ini. 

Semakin ke sini, kehidupan manusia semakin kompleks sehingga dibutuhkan duduk bersama antara para ilmuwan dan pemangku kebijakan untuk dapat memecahkan permasalahan bangsa yang juga harus melibatkan berbagai macam pendekatan. 

Menjadi bioethicist muda adalah salah satu langkah sekaligus peluang untuk melihat berbagai persoalan secara holistik dengan saling membutuhkan dan menyumbang agar saling memperkaya sampai kepada tujuan kebaikan manusia dan juga dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun