Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pancasila di Mata Generasi Z dan Implementasinya

3 Juni 2023   04:13 Diperbarui: 3 Juni 2023   04:19 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.id/

Jujur mengerikan sebab seiring kemajuan zaman, Pancasila tidak ubahnya hanya sebentuk satu kata yang ramah di telinga.   Bahkan untuk menyebutkan kelima silanya pun belum tentu orang Indonesia hafal.  Konon mengimplementasikannya sebagai ideologi bangsa Indonesia.  Lebih tepatnya, sebagai karakter manusia Indonesia, bangsa Indonesia. 

Katakanlah dulu mungkin kita akan otomatis berbaris manis di lapangan sekolah pada setiap tanggal 1 Juni.  Kemudian kita mengatakannya hari lahirnya Pancasila.  Seiring kemajuan zaman dan peradaban yang didominasi Generasi Z maka terjadilah moderninasi yang horor.  Di mana diketahui Gen Z dengan karakeristik yang menggemari teknologi, fleksibel, lebih cerdas, dan toleran terhadap perbedaan budaya.  Namun justru di sinilah permasalahannya dipicu.  Sebab materi tentang ideologi Pancasila menjadi bergeser di media sosial dan mentok pada slogan, hastag, dan twibbon saja.  Makin tidak karuan bahkan ada yang menyelenggarakan obral ataupun pasar malam memperingati "kelahiran" Pancasila.

Tragis sih, sebab nilai dari kelima sila sama sekali tidak terwakilkan hari lepas harinya.  Lihat saja keprihatinan kondisi dan karakter generasi penerus bangsa sekarang ini.  Ibarat langit dan dasar sumur yang paling dalam rasanya. Semakin langka yang memiliki kepekaan terhadap sesama dan makin minimnya nilai kebhinekaan.

Begini, penulis kebetulan memiliki dua remaja yang sedari playgroup bersekolah di sekolah Katholik.  Namun di usia Sekolah Menengah Atas (SMA), penulis sudah merencanakan keduanya untuk lanjut ke SMA Negeri.  Pertanyaan banyak kerabat, untuk apa?  Bukankah di sana hanya akan menjadi minoritas tertindas nantinya?  Faktanya memang tidak jauh meleset.  Tetapi maksud dan tujuan penulis tidaklah lain agar kedua buah hati keluar dari zona nyaman.  Serta mereka bisa melihat kebhinekaan dalam arti sesungguhnya.  Berbeda agama, suku dan status sosial.

Pernah di satu kesempatan putri penulis mendapatkan pertanyaan yang menyedihkan.  "Kenapa sih mama kamu membagikan sembako?  Apakah setelah ini kami harus baik, atau harus bagaimana kami selanjutnya?"  Demikian cerita ini disampaikan putriku ketika pulang sekolah.  Padahal aksi sembako tersebut aku lakukan ikhlas dengan beberapa teman.  Kebetulan juga di sini aku yang dipercaya sebagai ketuanya.  Tetapi karena keyakinanku yang minoritas sehingga aksi tersebut dinilai diselubungi sesuatukah?

Apakah putriku kesal, maka jawabannya iya.  Tetapi kekesalannya tersebut disimpan dalam hati dan cukup disampaikannya kepadaku di rumah.  "Apa mereka selalu berbuat baik karena mengharapkan balas jasa yah ma?  Kenapa mereka selalu mencurigai jika kebaikan tersebut berasal dari minoritas?  Menyedihkan banget sih hidupnya selalu penuh prasangka."  Demikian berapinya putriku karena tidak terima mamanya ini dicurigai.

Sebagai orang tua jujurnya sedih melihat kondisi ini.  Mereka maju secara teknologi, tetapi mengalami kemunduran sebagai makhluk sosial.  Bukankah manusia harus berinteraksi satu dan lainnya.  Bahkan di Sila ke-2 saja dikatakan Kemanusiaan yang adil dan beradab."  Artinya, kita haruslah tolong menolong antar sesama tanpa melihat perbedaan.  Hal yang juga berkaitan langsung dengan Sila 1, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.  Bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadikan kita berbeda di mata Tuhan.

Tetapi nyatanya Gen Z jauh dari mengerti nilai Pancasila.  Padahal Pancasila adalah ideologi dan karakter bangsa Indonesia.  Bahkan dunia "pernah" mengenal kita sebagai bangsa yang majemuk dan suka bergotong royong tanpa melihat perbedaan.

Kini semua nyaris punah, sebab perbedaan keyakinan saja dapat berujung baku hantam di antara anak bangsa.  Ironisnya, kekacauan ini dipicu oleh paham-paham menyesatkan yang tidak sedikit didalangi oleh mereka yang berkepentingan demi tampuk kekuasaan di negeri ini.

Kembali dengan apa yang terjadi di sekolah putri penulis ketika itu.  Apakah penulis ataupun putriku harus ngotot dan berteriak, "Tidak, kami tulus kok.  Kami ikhlas, dan tidak ada maksud apapun!"  Hahah...untuk apa juga, karena untuk sebuah kebaikan tidaklah perlu dunia menilai.  Tetapi ini tanggungjawab sebagai sesama manusia.  Hebatnya Pancasila sudah merangkum ini semua.

Terkhusus kepada kedua buah hatiku, beberapa hal di bawah ini sudah kutanamkan sejak dini untuk menjadi bekal mereka ketika bermasyarakat, yaitu:

  • Biasakan mengucapkan permisi, maaf, dan terima kasih.  Sebab ini bentuk menghormati dan menghargai orang lain.
  • Menerima perbedaan dengan lapang dada
  • Bersyukur dan menjadi berkat bagi sesama.
  • Sedari kecil, aku membiasakan meminta izin kepada keduanya untuk memberikan buku ataupun mainan yang sudah tidak dipakai kepada anak panti.
  • Menyisihkan baju, ataupun seragam sekolah layak pakai untuk diberikan kepada yang membutuhkan.
  • Sesekali memberikan sedikit berkat kepada orang yang kurang beruntung yang ditemui di jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun