"Selamat siang Nanda, kenalkan ini Tante Desy, mamanya Naya," kataku akhirnya setelah berhasil menghubungi Ananda via phone. Â Sebab sebelumnya bahkan WA sekalipun hanya dibacanya tanpa dibalas.
Lanjut aku menyampaikan tujuanku, "Nanda, tante dan beberapa teman hendak berbagi kuota untuk beberapa bulan ke depan. Â Tidak untuk semua anak di kelas kita. Â Hanya untuk mereka yang memang memerlukan. Â Pertimbangannya beberapa dari kalian tentunya butuh selama pembelajaran online ini. Â Tapi janji yah dipakai untuk belajar."
"Terima kasih tante, tapi jangan tan. Â Nanti bapak marah, kalau tahu saya menerima kuota. Â Tolong, jangan tante. Â Sebab saya hanya boleh menerima pemberian bapak." Â Begitu bergetar nada ketakutan Nanda di telepon dan aku sama sekali tidak menduga. Â Membuatku menjadi ingin tahu, dan kalau boleh bicara kepada orang tuanya.
"Maaf, saya tidak berani memberikan nomor bapak, ataupun membiarkan tante bicara ke bapak. Â Nanti saya dipukul, saya takut tan. Â Tapi tante bisa bicara dengan ibu. Â Ibu saya di Batam, pisah dengan bapak. Â Saya ikut bapak, begitulah yang saya tahu. Â Tapi tante jangan bilang apapun tentang saya ke ibu. Â Sudah yah tante, nanti nomor ibu saya WA ke tante." Â Berbisik penuh ketakutan Nanda mengakhiri percakapan kami tergesa.
Singkat cerita, aku pada akhirnya menghubungi nomor yang diberikan Nanda. Â Ceritapun mengalir tanpa aku mengoreknya sama sekali. Â Cerita tentang perceraian sepasang suami istri, dan anak-anak diputuskan ikut dengan bapaknya. Â Sedangkan si ibu bekerja di Batam, dan selama ini sembunyi-sembunyi mengirimkan uang kepada Ananda si sulung. Â Kenapa sembunyi, karena demi menghindari Nanda mengalami tindak kekerasan. Â Sederhana, karena si bapak tidak ingin menerima rupiah dari sang mantan istri, sekalipun sebenarnya secara ekonomi mereka memprihatinkan.
Berlanjut, aku berhasil mendapatkan nomor si bapak lewat mantan istrinya ini. Â Setelah berpikir keras, akhirnya aku putuskan mengirim WA memperkenalkan diriku sebagai WOTK (Wakil Orang tua Kelas) atau kordinator kelas di kelas putrinya. Â Menyampaikan tujuanku ingin membagi kuota rutin dalam beberapa bulan ke depan. Â Kuota yang kami berikan tanpa ikatan apapun demi menunjang pembelajaran online di waktu pandemi.
Aku tidak menyinggung apapun selain menyampaikan maksud, yaitu kuota. Â Hingga satu waktu, kembali aku dan beberapa teman memiliki kegiatan berbagi sembako. Â Aku pun menyertakan Nanda dalam list untuk sembako. Â Kali ini, aku putuskan untuk langsung menelpon si bapak, dan disambut baik.
Tidak sekedar baik, tetapi juga cerita. Â Cerita tentang keretakan rumah tangganya, dan penyesalannya jika Nanda beserta adek-adeknya kerap menjadi korban kekerasan dirinya. Â Entah dibentak, ditampar ataupun dipukul. Â Hal yang dilakukannya tanpa maksud melukai. Â Tetapi semua karena emosi, karena kesulitan hidup, karena lapar, karena miskin, dan merasa ketidakadilan.
"Percayalah bu, saya menyayangi anak-anak saya. Â Mungkin ibu tahu bahwa Nanda kerap saya pukul. Â Mungkin ibu juga tahu kehancuran keluarga kami. Â Kemudian bagaimana berantakkannya sekolah Nanda, dan bahkan hancurnya Nanda karena menjadi keras kepala." Â Mengalir dan mengalir cerita itu disampaikan dengan lirih suara hancur hati seorang bapak.
Kisah ini nyata, hanya beberapa nama tidak. Â Cerita tentang perceraian, yang dianggap sebagai solusi. Â Tetapi faktanya, solusi tersebut hanya untuk si bapak dan si ibu. Â Lalu bagaimana dengan anak? Â Nyatanya Nanda berserta adeknya menjadi korban. Â Sementara kedua orang tuanya katakanlah lepas dari pertikaian di antara mereka.