Namun kenyataan pahitnya sering kali menyangkut PR inilah yang terjadi:
- PR/ tugas sekolah dikerjakan oleh orang tua
- Anak diizinkan mencontek/ meniru hasil temannya
- Anak mengerjakan PR dengan diancam/ ditakut-takuti
- Anak mengerjakan PR dengan dijanjikan hadiah
Kembali kepada ceritaku, konsisten, hari lepas hari aku melakukan hal yang sama. Â Selalu menyediakan waktu mendampingi putriku. Â Sehingga inilah yang dilihat sebagai keseharian oleh si bungsu. Â Ibarat learning by doing maka si kecilpun terikut ingin seperti kakaknya.Â
Singkat cerita, tidak sulit bagiku ketika pada akhirnya keduanya telah bersekolah. Â Bahkan tidak sulit bagiku ketika selanjutnya mereka di SD, SMP, bahkan SMA. Â Tugas dan PR yang diberikan oleh sekolah selalu dikerjakan oleh mereka tanpa aku harus menarik otot leher.
Aku bahkan tidak direpotkan dengan permintaan dadakan mau ini dan itu, karena jika ada tugas kelompok atau proyek, maka beberapa hari sebelumnya keduanya telah memintaku menyiapkan kebutuhannya. Â "Ma, tolong siapkan stik. Â Ma, nanti aku butuh triplek. Â Ma, bantuin saran ide untuk proyek biologi sebaiknya bagaimana yah." Â Kira-kira begitulah komunikasi yang terbangun diantara aku dan kedua anakku.
Pertanyaannya nakalnya, apakah nilai mereka adalah karenaku? Â Maka aku jawab tidak! Â Keduanya marah besar jika aku mendominasi. Â "Mama, itu tidak jujur! Â Mama hanya dimintai tolong belikan ini dan itu, atau hanya ditanyai saran. Â Kenapa mama yang rempong mau mengerjakan. Â Itu namanya curang ma!"
Heheh..... kini masa-masa itu sudah aku lewati. Â Tidak mudah memang, karena akupun jatuh bangun untuk membangun karakter ini. Â Yup, karakater disiplin, bagaimana membagi waktu, skala prioritas, tanggungjawab dan kejujuran yang nilainya jauh di atas segalanya daripada nilai yang diperoleh dari tuntasnya PR ataupun tugas proyek.
Ada satu cerita ketika putriku mengerjakan proyek yang merupakan tugas kelompok. Â Kebetulan pula putriku ini sejak kecil sangat serius jika menyangkut sekolah. Â Oleh karenanya putriku tidak ingin nilainya hancur lebur. Â Tetapi apa daya teman kelompoknya tidak niat mengerjakan. Â
Maka diputuskan untuk mengerjakan maksimal dan sendiri! Â Tetapi ketika tugas tersebut dikumpulkan, tidak dicantumkannya nama temannya. Â Lalu dengan berani disampaikannnya kepada guru mata pelajaran bersangkutan kondisi sebenarnya. Â Hehehe...tegas, dan tanpa gentar.
Mungkin bagi sebagian orang PR adalah beban, atau PR adalah nilai yang harus dibuat secantik mungkin. Â Sehingga sudah menjadi rahasia umum banyak orang tua yang rela mengerjakan PR anaknya dan bangga ketika anaknya mendapatkan nilai sempurna.
Betapa ini menyedihkan karena ini sama saja kita menjerumuskan anak ke lubang sumur. Â Kita biarkan si anak menjadi pribadi yang rapuh karena tidak berjuang untuk nilainya. Â Terparahnya, bahkan anak diajarkan berbohong dan tumbuh jadi pribadi yang tidak jujur dan malas. Â
Mengandalkan orang lain, dalam hal ini orang tuanya demi kesempurnaan nilai. Â Maka sangat mungkin di masa depan hal yang sama pun akan dilakukannya, yaitu menghalalkan segala cara demi terlihat sempurna.