Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Narasi dan Literasi Kekerasan Seksual

23 Desember 2021   02:09 Diperbarui: 23 Desember 2021   02:09 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
epaper.mediaindonesia.com

Kominfo diharapkan mampu membangun literasi dan narasi terkait maraknya kekerasan seksual belakangan ini.  Harapan ini disampaikan oleh Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya agar menjadi landasan yang menjadi penguat untuk pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sangat penting.

"Saya mengapresiasi peran dari kawan-kawan media yang telah menyoroti hal ini.  Tapi ada hal-hal yang lupa kita lakukan, yaitu membangun narasi dan literasi yang terkait kekerasan seksual. Kekerasan seksual tidak hanya cukup dengan advokasi dan policy," jelas Willy dalam FGD Forum Merdeka Barat (FMB) 9 berjudul 'Menanti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual' yang disiarkan KemKominfo secara virtual, Senin (13/12).  Dikutip dari: indonesiatech.id

"Terakhir narasi kekerasan seksual yang kita pertahankan di tengah generasi milenial adalah kisah Siti Nurbaya.  Sebuah film yang diangkat dari kisah novel yang menceritakan tentang kisah kawin paksa yang pada akhirnya mampu memberikan dampak yang luar biasa baik secara psikis, sosial dan budaya kepada masyarakat," paparnya.  Dikutip dari: indonesiatech.id

Menyoroti kondisi hukum di Indonesia, miris sejauh ini langkah yang diambil untuk kasus kekerasan seksual hanya sebatas advokasi kepada korban.  Itupun hukum yang berjalan kerap dirasakan ketimpangannya oleh berbagai faktor, misalnya kekuasaan jabatan, faktor "Qanun Jinayat" hukum agama, ataupun budaya patriarki dimana laki-laki dianggap dominan daripada perempuan.  Hal yang justru mengabaikan korban, terkesan seolah disini korban kembali "diperkosa" keadilannya.

Bagi budaya Timur, khususnya masyarakat kita seks dianggap tabu.  Akibatnya kita bahkan tidak mengerti persisnya yang dimaksud dengan kejahatan seksual.  Padahal bukan tidak mungkin banyak perempuan telah mengalami kejahatan seksual.  Mirisnya bagi mereka dianggap lumrah.  Ehhhmmm..... apalagi jika bukan karena ketidaktahuan.

Kekerasan seksual atau pun kejahatan seksual tidak sebatas perkosaan, tetapi ada banyak yang termasuk di dalamnya.  Dikutip dari kompas.com, berikut beberapa gambarana kejahatan seksual yang tidak disadari oleh banyak perempuan Indonesia, yaitu:

  1. Pemerkosaan
  2. Pelecehan seksual
  3. Intimidasi seksual
  4. Prostitusi
  5. Perdagangan perempuan
  6. Pemaksaan perkawinan
  7. Pemaksaan kehamilan
  8. Penyiksaan seksual
  9. Aborsi
  10. Kontrol seksual

Secara garis besar, kejahatanan seksual didefinisikan sebagai tindakan kekerasan seksual di mana setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.

Ini mengingatkan kita pada kasus pemerkosaan di Aceh yang dilakukan oleh ayah kandung kepada anaknya,  Tetapi sang ayah dinyatakan bebas karena pada kasus ini diberlakukannya hukum agama.  Kemudian, beberapa waktu lalu kita dikagetkan oleh berita pelecehan seksual terhadap sejumlah santriwati di sebuah pesantren di Bandung.

Pertanyaannya apakah hukum dirasakan cukup untuk melindungi?  Apakah untuk kasus di Aceh, tindakan si ayah dapat dibenarkan karena korban adalah anaknya sendiri?  Kemudian kasus di pesantren, apakah dianggap wajar dengan pembenaran kasus dilakukan oleh pemuka agama.  Maaf, rasanya sangat tidak pantas kejadian tersebut atas dasar apapun.

Namun faktanya hukum tidak memberikan rasa keadilan.  Artinya, persoalan kejahatan/ kekerasan seksual tidaklah cukup kepada advokasi semata.

Sehingga ada baiknya masyarakat, terkhusus perempuan Indonesia diberikan edukasi yang bisa menjadi pelindung dirinya.   Disinilah Kominfo diharapkan mampu membangun narasi dan literasi mencerdaskan kepada perempuan Indonesia tentang kekerasan seksual.

Sebenarnya satu gambaran kekerasan seksual adalah cerita rakyat kisah Siti Nurbaya.  Siti Nurbaya tidak sedang berbicara mengenai pingitan, atau perjodohan paksa semata.  Tetapi, ini adalah satu contoh kejahatan seksual/ kekerasan seksual yang dapat dipidanakan.

Bahkan narasi atau literasi ini pun sudah lama tidak diperdengarkan di tengah masyarakat Indonesia.  Tidak heran jika kita dikagetkan oleh maraknya kasus kejahatan seksual yang hanya sebatas masalah hukum, dan berujung dengan berbagai akhir.

Belum lagi jika kita bicara masyarakat patriarki, dimana laki-laki dianggap dominan seperti di Indonesia.  Maka perempuan kerap diposisikan sebagai obyek dalam segala hal.

Padahal di masyarakat modern, perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama di mata negara, termasuk juga di mata hukum.  Artinya tidak ada hak istimewa kaum lelaki untuk bertindak semena-mena sekalipun atas nama anaknya ataupun istrinya.  Harus dicatat perempuan Indonesia memiliki hak yang sama seperti kaum lelaki.

Tentunya Kominfo memegang kunci penting disini agar pesan tersampaikan.  Bahwa sudah seharusnya Kominfo membangun narasi cerdas lewat tayangan acara di televisi, misalnya sinetron.  Harapannya lewat tayangan di televisi, perempuan Indonesia disosokan sebagai perempuan tangguh yang cerdas.

Maaf, ada baiknya sinetron tidak melulu berbicara tetang perselingkuhan.  Kenapa tidak menayangkan alur cerita yang penuh rasa optimis.  Perempuan tangguh yang mampu mandiri, dan mampu bersikap. Sehingga tidak ada lagi pelecehan seksual yang dialami sejumlah mahasiswi oleh Dosen pembimbingnya.  Tidak seharusnya mahasiswi dengan tingkat intelektual mumpuni, tetapi "terdiam" membiarkan dirinya mengalami pelecehan oleh orang yang seharusnya melindungi.  Serupa tapi tak sama dengan kasus lainnya yang "raib" kabar beritanya.

Kejahatan dan kekerasan seksual tidak cukup hanya dihebohkan sesaat menjadi headline, lalu kesibukan advokasi.  Ke depan lewat peran Kominfo maka pembelajaran tersebut harus diberikan lewat tayangan.  Tayangan harus dikemas menarik sehingga tidak membosankan, dan pesan moral bisa tersampaikan dengan maksimal.

Pencerahan seperti inilah yang membuka cara pandang perempuan Indonesia tentang posisinya di tengah masyarakat.  Sekaligus mencerdaskan masyarakat Indonesia bahwa perempuan bukan obyek.  Sehingga harapannya akan menjadi modal untuk Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), dan Kominfo memegang kunci untuk mencerdaskan lewat narasi dan literasi.

Jakarta, 23 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun