Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Demokrasi Digital Menyambut Pemilu 2024

11 November 2021   18:22 Diperbarui: 11 November 2021   18:32 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah dikatakan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate bahwa sektor komunikasi dan informatika adalah sektor yang memiliki kemampuan dan kesempatan luas melakukan lompatan besar setelah pandemi.  Pernyataan yang terbukti, sebab kini teknologi digital semakin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.  Fakta pandemi telah memaksa Indonesia memasuki era digital di segala aspek. 

Disinilah menariknya nanti, mengingat tidak lama lagi Indonesia bersiap menyambut Pemilu 2024.   Konon, signal diizinkan promo pun telah diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada menteri di jajarannya.   Mempersilakan jika ada menteri petahana yang ingin mempromosikan diri untuk Pemilu 2024.  Tentunya Indonesia juga bertanya-tanya siapakah pengganti Presiden Joko Widodo nantinya.

Terlepas pantas dan tidak pantasnya ini menjadi isu saat ini, tetapi atmosphere mulai terasa.  Setidaknya beberapa nama mulai ramai digadang-gadang, dan gelagat sudah lama terlihat.  Sebagai contohnya, baliho Puan Maharani cukup ramai menghiasi sudut kota Jakarta.  Kemudian nama Prabowo Subianto Menteri Pertahanan dan Keamanan juga tidak asing. 

Ibarat rahasia umum gelagat Prabowo siap tempur sudah terbaca jauh hari, termasuk dukungan Partai Gerindra yang terlihat jelas apa adanya.  Kemudian, tidak menutup kemungkinan nama Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang konon ramai disandingkan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartato.  Serta apakah suatu kebetulan jika sosok Erick Thohir Menteri BUMN wajahnya belakangan ini mejeng di mesin ATM bank-bank BUMN lengkap dengan revolusi akhlaknya. 

Pertanyaan menariknya bagaimana para kandidat nantinya memikat masyarakat Indonesia.  Apakah Indonesia masih tetap menggunakan cara lama obral janji, cuap sana sini ketika berkampanye?  Ataukah, memilih ruang digital sebagai media berkampanye yang cerdas dan mungkin (telah) dilakukan dalam senyap oleh beberapa dari mereka.

Maaf, jika diizinkan menilai tetapi "manuver" Erick Thohir terbilang cantik.  Ibaratnya meninggalkan nama yang terekam secara tidak langsung di memori masyarakat Indonesia lewat mesin ATM.  Seperti halnya juga Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah yang tanpa baliho tetapi meninggalkan rekam jejak digital prestasi dan pencapaiannya di media sosial.  Bahkan Ganjar membuka diri dapat berinteraksi dan berkomunikasi lewat akun twitter miliknya.

Langkah cerdas!  Bukankah seharusnya di alam digital, relasi antara elite dan masyarakat menjadi semakin terbuka.  Dalam hal ini kebebasan berpendapat menjadi kunci, dan demokrasi digital menjadi jawaban.

Demokrasi digital bukanlah demorasi model baru.  Melainkan tentang bagaimana teknologi informasi mengubah praktik demokrasi menjadi lebih baik.  Di mana rakyat beraktivitas politik menggunakan jejaring internet tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Sebenarnya demokrasi digital membuka peluang mengembalikan hakikat demokrasi kembali populis, atau berpihak kepada kepentingan rakyat.  Seperti kita ketahui saat ini media sosial memberikan kesempatan atau menampung seluruh diskusi publik, termasuk mendengarkan keluhan ataupun aspirasi rakyat. 

Sehingga artinya seiring kemajuan zaman, teknologi dan cara berpikir, maka dengan paralel cara berpolitik konvensional pun cenderung ditinggalkan.  Kenapa?  Sebab rakyat tidak lagi menginginkan komunikasi satu arah, yang bersifat pasif menjadi pendengar obral janji.

Di zaman serba digital, rakyat dan utamanya golongan muda menginginkan keberadaan demokrasi digital yang tidak memiliki sekat pembatas, sekaligus menghadirkan interaksi.  Rakyat Indonesia sudah lelah dengan segala bentuk pencitraan.  Rekam digital pencapaian hasil kerja jauh lebih nyaring terdengar ketimbang cuap-cuap

Bentuk komunikasi politik seperti inilah yang lebih diterima ketika Indonesia memasuki era digital.  Sehingga tentunya menteri Petahana calon kontestan politik nantinya harus cerdas menggunakan teknologi dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana berkampanye.  Sebab pada akhirnya pemimpin dengan pemikiran visioner dan mengikuti kemajuan zaman jauh lebih diminati oleh golongan muda pastinya.  Apalagi saat ini kita memasuki era digital, sehingga gaya dan pemikiran konvesional tipis harapannya dilirik.

Sekalipun demikian, bukan berarti ini tanpa kendala.  Fakta tak terhindarkan bahwa setiap perubahan selalu ada plus dan minusnya.  Demikian juga demokrasi digital yang kerap diidentikkan dengan penggunaan buzzer atau cyber troops bayaran demi strategi firehouse atau falsehood politik.  Disinilah pada akhirnya literasi digital menjadi penting untuk rakyat.  Artinya, dibutuhkan dan dituntut kedewasaan ketika berselancar di dunia maya.  Baik oleh warganet, ataupun kontestan politik yang bersangkutan nantinya.

Sehingga ada baiknya para menteri Petahana bercermin diri.   Bahwa sekalipun genderang sudah ditabuh, namun Indonesia membutuhkan lebih dari sekedar pemimpin riuh.  Malu rasanya menabuh genderang dan merasa diri pantas menjadi RI 1 saat langkah baru separuh.

Jakarta, 11 November 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun