Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Baliho dan Jadulnya Marketing Politik

17 Agustus 2021   01:53 Diperbarui: 17 Agustus 2021   02:12 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://surakarta.suara.com/

Ironis, karena semarak baliho lebih seru ketimbang nuansa perayaan 76 tahun Indonesia merdeka.  Saat ini baliho politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 saling berlomba unjuk diri di setiap sudut jalan di seantero tanah air.  

Wajah-wajah tokoh politik seperti Ketua DPR RI Puan Maharani dengan tagline 'Kepak Sayap Kebinekaan', Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan tagline 'Kerja untuk Indonesia', Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan tagline 'SIAP.   Bahkan, artis komedian Andre Taulany pun ikutan balihonya banyak terpampang di DKI Jakarta dengan tagline 'Siap Menjadi Wakil Rakyat."

Pertanyaannya sekarang apakah cara ini masih efektif untuk "jualan" politik.  Maaf yah, tapi rasanya generasi kekinian lebih mementingkan komunikasi politik, demi memastikan kapasitas dan elektabilitas calon.  Daripada baliho, benda mati dengan komunikasi satu arah.

Sekilas bisa jadi generasi milineal terlihat apatis terhadap politik.  Tetapi sebenarnya, tidak sedikit dari mereka yang menganggap keberadaan baliho tersebut sebagai dagelan politik.  Pikir sajalah dengan akal sehat.  Ditengah keprihatinan negeri ini, yang berusaha bangkit melawan pandemi.  Tetapi justru para tokoh politik tersebut "sibuk" menunjukkan dirinya.  Sikap narsis mereka yang berlomba mengklaim kebaikan dengan mengatakan jujur, terpercaya, membela rakyat dan banyak lagi "kebaikan" itu terlalu standard dan ritual banget.

Bayangkan, pandemi membuat banyak dari masyarakat terpuruk dalam segalanya.  Mereka kehilangan pekerjaan.  Ekonomi hancur lebur, sehingga untuk makan saja sulit.  Tetapi, disaat kondisi terpuruk, mirisnya para calon pemimpin buang uang demi baliho?  Wuuihhh...maaf, tetapi jika berempati saja tidak bisa.   Bagaimana bisa diharapkan menjadi pemimpin.  Lha...di awalnya saja hanya peduli pada diri sendiri.

Daripada menggunakan marketing politik jadul yang hanya komunikasi sepihak.  Kenapa tidak menggunakan komunikasi politik dua arah.  Pasangan calon (paslon) kepada masyarakat pemilihnya, dan demikian juga sebaliknya.  Intinya, jadilah paslon yang mau mendengar suara rakyat, dan bukan hanya ingin didengar.

Tentunya, komunikasi yang disampaikan paslon haruslah dengan program kerja masuk di akal.  Tidak mengkhayal, alias gombal kepada masyarakat pemilihnya.  Sebab, seiring waktu masyarakat juga makin cerdas.

Baliho itu benda mati.  Bandingkan sajalah seandainya para tokoh politik ini  menggunakan media sosial untuk menggaet suara para milenial misalnya.  Kita tahu saat ini banyak sekali platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, Twitter, ataupun Youtube.  Kenapa tidak gunakan medsos untuk memaparkan program dan membuka komunikasi dengan masyarakat pemilihnya?

Ngeri dikritik?

Nah, ini sulit.  Sebab pemimpin yang baik harus terbuka baik kepada masukan ataupun kritik.  Asalkan kesemuanya disampaikan dengan cara baik, tanpa melanggar aturan hukum, alias menyebarkan kebohongan maka medsos adalah pilihan berkomunikasi jauh lebih komunikatif.

Aku pribadi sih menyukai cara berkomunikasi Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah.  Ganjar, samasekali tidak tertarik untuk menghiasi sudut jalan.  Lebih memilih turun bertemu masyarakat dan berjuang bersama melawan pandemi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun