Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Meredam Cemas Menjadi Berkat

16 Juli 2021   02:47 Diperbarui: 16 Juli 2021   02:47 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.adorableminds.com/

Mimpi buruk pandemi Covid-19 berjalan nyaris 2 tahun di negeri ini.  Saatnya kita belajar untuk tidak berharap banyak pandemi akan segera berakhir.  Sekalipun saat ini vaksin sudah ditemukan.  Tetapi faktanya virus ini terus bermutasi menjadi varian baru.  Sehingga akan tiba titik dimana manusia semakin lelah dengan ketidakpastian.

Tidak heran ketakutan dan kecemasan akhirnya merusak kesehatan jiwa.  Bagaimana tidak, jika setiap hari berita di media, komunitas dan group WA tidak jauh dari kabar duka.  Bahkan suara sirene ambulans menjadi biasa lalu lalang seperti terror yang menghantui. 

Inilah fakta, dan kita tidak bisa lari menganggapnya tidak ada.  Sebaliknya, kita harus berani menghadapinya dan bukan menutupinya, berpura semua baik-baik saja.  Lalu disaat bersamaan berjalan parallel, kita pun harus tetap menjalani kehidupan dengan atau tampa Covid.

Bak air mengalir, dibawa alur cerita.  Pandemi membuatku terlibat dengan berbagai kegiatan kemanusiaan. Di awal-awalnya, aku menangisi untuk setiap jiwa yang pergi.  Aku bahkan menghadiri penguburan mereka secara virtual.  Rasanya hancur remuk redam.  Padahal aku tidak mengenal sosok mereka secara pribadi.  Mereka adalah teman dari teman, atau kerabat dari kenalanku yang kebetulan mencari pertolongan lewatku.

Ada rasa menyesal tak terkata dan menyalahkan diri sendiri karena gagal.  Meski jujur aku sudah mencoba maksimal hingga begadang larut malam demi membantu mencarikan plasma dan kamar rumah sakit misalnya.  Tidak hanya itu, aku juga merasa gagal dan tidak berarti ketika melihat banyak orang di sekitarku terpuruk lapar dihantam badai ekonomi.  Padahal aku tidak mengenal, dan tidak mendapatkan apapun untuk semua yang aku lakukan.  Hanya saja, pandemi, membuatku menjadi lebih berempati dan mengenal arti kata bersyukur.  Pandemi juga yang mengantarku mengenal orang-orang yang memiliki kepedulian, serta menambah persahabatanku.

Seiring waktu aku belajar menerima, bahwa aku tidak bisa mengubah dunia.  Dukungan dari keluarga, sahabat, dan komunitas tempatku bergabung membuatku bangkit.  "Hi...apa kabar, semangat dan jangan sakit yah."  Sesekali orang-orang yang mengenalku baik menyapaku memberikan semangat.

Meskipun begitu akan selalu ada suara sumbang berkata, "Ngapain sih capek-capek ngurusin orang?"  Bahkan ada juga yang berpendapat, "Iih...sok kepo, sok sibuk, carmuk alias cari muka."  "Hahah...santui saja," kataku dalam hati.  Ada satu nilai atau prinsip hidupku, bahwa hidup akan berarti jika kita bisa menjadi berkat untuk orang lain.

Aku sadar tidak bisa mencegah komentar orang.  Sebab kita tidak bisa tahu isi kepala dan hati orang.  Tetapi yang pasti, apa yang aku lakukan adalah lahir dari sebuah kepedulian.  Tidak untuk dipuji oleh siapapun.  Seperti kukatakan diawal, mengalir apa adanya.  Bermula dari membantu mencari donatur APD, faceshield, bansos, plasma, kamar rumah sakit dan terus berkembang menjadi lebih banyak lagi kepercayaan kepadaku. 

Menariknya, di beberapa komunitas dan group WA lama tempatku bergabung, kami berlahan mengganti topik pembicaraan.  Kami tidak lagi membicarakan isi dunia ini beserta kehebohannya.  Bahkan topik pembicaraan yang dulu di seputaran angka kematian Covid kini beralih dengan berita optimis.  Waktu dan kondisi mengajarkan, kami harus bangkit.

Kini, kami saling memberi kabar tempat vaksin, bagaimana mengadakan atau meminjam tabung oksigen, tempat isoman, cara belanja keperluan dapur online, cara memotivasi anak belajar, atau bahkan hanya sekedar untuk saling menguatkan alias jadi tempat curhat memberikan motivasi.  Intinya kami mengubah rasa cemas menjadi optimisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun