Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kemiskinan dan Kebodohan Tidak untuk Diwariskan

11 April 2021   03:57 Diperbarui: 11 April 2021   07:41 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jabar.tribunnews.com

Bulan April selalu mengingatkanku kepada satu sosok perempuan hebat Indonesia, R.A. Kartini.  Kebetulan aku bersama pasangan pernah membawa kedua anak kami ke tempat Kartini dilahirkan.  Kami memang mempunyai kebiasaan membawa anak-anak melihat tempat-tempat bersejarah.  Mengajari mereka tidak hanya mengenal sejarah lewat buku, tetapi juga melihat dan merasakan langsung apa yang diceritakan di dalam buku.  "Wow...Kartini hebat!  Di tempat seperti ini, dan di zaman yang masih jadul pernah ada perempuan yang visioner disini, gokil!"  Begitu kekaguman kedua bocahku.

Yup, Kartini hebat, lahir tidak hanya sebagai perempuan dengan kemauan keras untuk maju.  Tetapi juga menempatkan dirinya sebagai perempuan dengan kodratnya.  Hormat dan tunduk rela menikah muda dengan lelaki pilihan orang tuanya.  Seharusnya gebrakan yang dilakukan Kartini bisa diapresiasi oleh perempuan di generasi berikutnya.

Tetapi sayang, kemiskinan dan kebodohan sering membutakan.  Anak perempuan masih sering dianggap beban karena tidak bisa menghasilkan duit, kecuali dinikahkan muda saja agar menjadi duit.  Membantu atau menjadi tulang punggung keluarga orang tua membiayai kebutuhan adek-adeknya.

Ini bukan sebuah karangan.  Cerita nyata Asisten Rumah Tangga yang terbilang lama ikut bersama kedua orang tuaku, hingga aku sendiri akhirnya memiliki anak.  Mbak Ning begitu panggilannya, dan orangnya sangat baik.  Ketika kedua anakku masih bayi, sigap si mbak mencuci kering popok kedua anakku yang berlomba karena sebentar-sebentar harus ganti.  Heheh...aku memang dulu tidak membiasakan mereka memakai pampers, kecuali hanya untuk malam saja.

Singkat cerita, sangat lama Mbak Ning bersama kami, menjadi ART yang pulang pergi selama 15 tahun lebih.  Anak-anaknya pun yang berderet itu sering dibawanya ke rumah untuk bermain dengan kedua anakku.  Tidak masalah bagiku, karena aku tidak membatasi pergaulan kedua anakku.  Mereka memang harus harus mengenal dan menghormati berbagai lapisan masyarakat.

Hingga kemudian seiring waktu berjalan Mbak Ning memutuskan keluar, karena sudah kewalahan mengurus anaknya yang banyak itu ketika mereka sudah memasuki usia remaja.  Seingatku anaknya ada 6 orang atau lebih sepertinya, sementara suaminya bekerja serabutan.  Jadi bisa dibayangkan betapa ribetnya saat mereka sudah remaja dengan pergaulan yang makin sulit dikontrol.

Tetapi, beberapa tahun kemudian Mbak Ning datang menemuiku, "Non, saya titip anak saya kerja disini menemani bermain anak non, boleh tidak?  Tetapi non, Fitri (nama anaknya) masih sekolah sore.  Non mau khan mengajari Fitri sekalian?  Biar Fitri tidak bodoh seperti saya, dan setidaknya bisa lulus SMA, menjaga toko mungkin supaya nanti bisa sekolahkan adeknya."

Fitri, anak Mbak Ning bukan orang asing bagiku.  Dulu sewaktu kecil, biasa bermain dengan kedua anakku yang masih imut.  Tetapi mengenalnya di saat usia SMP adalah hal yang berbeda.  Walaupun begitu, aku menerimanya untuk menjadi teman bermain anakku. 

Begitulah yang terjadi, Fitri datang setiap pukul 07.00 pagi untuk menemani kedua anakku bermain, atau sekedar nonton film kartun.  Kemudian di sela waktu, aku mengajari atau membantunya menyelesaikan PR.  "Fit, ada PR apa kamu, ada ulangan tidak?  Sini aku ajari supaya kamu bisa juara," begitu selalu setiap hari aku lakukan.  Aku bahkan membekalinya uang jajan untuknya ke sekolah setiap siang, selain bulanan yang menjadi haknya.  Kocak, karena aku seperti mempunyai anak remaja mendadak.

Awalnya semua berjalan baik.  Bahkan tanpa dimintapun Fitri kerap menyodorkan materi pelajaran yang tidak dimengertinya, "Kak (begitu dirinya memanggilku), Fitri nggak ngerti ini, ajarin dong kak."  Di lain waktu, "Kak, kemarin Fitri dapat nilai 80 untuk matematika."  Katanya di suatu pagi.

Heheh...bisa kebayang khan, aku seperti memiliki anak remaja dengan suka dan dukanya.  Tetapi aku suka, dan sama sekali tidak terbebani, sekalipun Fitri adalah anak ART ku, dan ada mimpi besar ibunya yang dititipkan kepadaku.  Aku bahkan ikutan bermimpi, Fitri tidak hanya lulus SMA, tetapi bisa kuliah Diploma paling tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun